Baliview
Dari Pedawa, Kayoman Bergerak Lestarikan Mata Air
BULELENG – Sadar hidup di tengah-tengah alam dan tak bisa terlepas dari keberadaan alam membuat sejumlah anak muda Desa Pedawa, Buleleng yang terhimpun dalam Komunitas Kayoman melakukan kerja-kerja nyata menyokong kelestarian alam. Sejak 2016, komunitas ini menyingsingkan lengan menanam bibit pohon di areal sumber mata air di desanya.
Komunitas Kayoman yang disokong oleh 20 orang anak muda itu terbentuk 6 Desember 2016. Keterbentukannya diakui sebagai muara dari kesadaran sejumlah pemuda, bahwa desanya yang terletak di pegunungan, yang membelah Bali Utara dan Bali Selatan itu memiliki posisi strategis secara ekologi.
“Kami bergerak sekali atau dua kali dalam sebulan dengan perhitungkan. Jika musim hujan kami akan melakukan penanaman, namun jika musim kemarau kami hanya melakukan perawatan terhadap tanaman yang kami tanam,” kata Ketua Kayoman, Putu Yuli Supriyandana, Senin (12/10/2020).
Tak tanggung-tanggung, selama empat tahun bergerak, pihaknya telah menanam hampir 4 ribu batang bibit pohon. Memang kemudian, dari jumlah tersebut diakuinya tidak semuanya bisa hidup dengan baik.
“Saat ini, mayoritas dari bibit-bibit itu masih kami bibit sendiri, sehingga kualitasnya tidak sebaik bibit yang memang dipersiapkan secara profesional. Selain sangat dipengaruhi oleh faktor alam,” terangnya mengatakan bahwa gerakannya rata-rata masih bersifat swadaya meski dalam beberapa kesempatan mendapat sokongan dari pihak ketiga.
Pohon-pohon yang ditanam Kayoman Pedawa berasal dari berbagai jenis. Adapun pohon-pohon yang memiliki fungsi sebagai sarana upacara menjadi prioritas tanam.
“Pohon-pohon yang dibutuhkan untuk sarana upacara, khususnya banten ala Pedawa seperti pinang, berbagai jenis bunga, termasuk beringin kami tanam di sekitar kawasan pura. Harapannya, ketika dibutuhkan saat upacara akan mudah dicari,” katanya.
Yuli menyebut, daerahnya yang berada di kawasan pegunungan memang seringkali mengalami krisis air, utamanya saat terjadi kemarau panjang. Ketika itu terjadi, tidak jarang masyarakat harus membeli air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Dari sanalah kami sadar, sehingga berpikir untuk bergerak melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan sumber mata air, selain juga di kawasan tempat suci,” ucapnya.
Selama hampir empat tahun bergerak, persoalan bibit diakui masih menjadi kendala utama, sehingga gerakan mereka menjadi kurang maksimal. Pada sisi lain, persoalan kesadaran warga untuk dapat diajak bergerak bersama turut membumbui perjuangan penyelamatan lingkungan itu.
“Untuk itu kami memproduksi video. Melalui video kami berupaya mengajak masyarakat untuk bisa bergerak bersama menjaga alam, termasuk agar bisa memahami kebudayaan dan sejarah desa. Karena, sepanjang gerakan kami di titik-titik penanaman, kami banyak sekali menemukan tinggalan-tinggalan sejarah, mulai dari sarkofagus hingga guci-guci China,” jelasnya.
Ia berharap ke depan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup dapat dipupuk oleh segenap elemen masyarakat Bali. Menurutnya, masalah alam Bali tidak hanya soal sampah plastik yang mulai banyak disadari masyarakat. Justru menjaga sumber-sumber mata air, termasuk hutan-hutan Bali jauh lebih penting sebagai investasi lingkungan hidup jangka panjang.
