Cek Fakta, Benarkah Sekolah Negeri Gratis?

Gede Ngurah Ambara Putra (Balinesia.id)

Denpasar, Balinesia.id - Satuan pendidikan negeri selalu menjadi primadona masyarakat. Selain alasan prestise, jargon sekolah gratis juga menjadi pemicu meningkatnya animo masyarakat berbondong-bondong menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah “pelat merah” tersebut.

Boleh jadi Pandemi Covid-19 menjadi alasan yang tepat bagi orangtua memilih sekolah negeri karena faktor biaya. Tetapi, bukankah sekolah negeri memang menjadi pilihan utama jauh sebelum pandemi menerjang? Bukankah setiap Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu kisruh akibat tidak seimbangnya permintaan dengan persediaan?

Memang, fenomena ini menjadi dilema bagi pemerintah provinsi yang menaungi SMA/SMK Negeri dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang menaungi SD dan SMP. Di satu sisi, daya tampung sekolah negeri memang terbatas, sesuai aturan main. Tetapi, pemerintah tidak ingin memutus harapan anak bangsa menikmati subsidi di sekolah negeri. Akibatnya, terbukalah “Jalur-jalur tikus” di luar ketentuan alias memaksakan kapasitas suatu sekolah.

Jika melihat komposisi persekolahan swasta, sejatinya persoalan berebut sekolah tidak pernah terjadi di Bali. Ini sesuai dengan pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali IKN Boy Jayawibawa, Rabu (19/5), lalu.

Ia menjamin tidak ada siswa lulusan SMP di seluruh Bali yang akan tercecer, karena jumlah SMA/SMK negeri dan swasta melebihi kebutuhan. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2021 ini membuka dan mulai mengoperasikan 6 unit sekolah baru SMA/SMK. Yaitu, SMAN 11 Denpasar, SMAN 2 Kuta Utara, SMAN 3 Negara, SMAN 2 Gianyar, SMAN 2 Sukawati, dan SMKN 6 Denpasar.

Kenyataan di lapangan, ribuan anak-anak bangsa yang jelas-jelas tidak lolos seleksi di sekolah negeri berusaha masuk dengan “jalur tikus”. Mereka memilih menjaga harapan tinimbang mendaftarkan diri di persekolahan swasta. Umumnya, mereka beralasan sekolah swasta mahal dan kualitasnya tidak sebanding dengan negeri. Pertanyaan-nya, benarkan sekolah negeri gratis biaya?

Berdasarkan penelusuran media ini, di SMA Negeri 8 Denpasar nyatanya peserta didik tetap membayar iuran. Salah satu orangtua peserta didik baru yang enggan namanya dikorankan mengaku, untuk sewa parkir saja, setiap anak dikenakan Rp 200.000 dan uang bulanan mulai dari Rp 175.000 sampai 250.000., menyesuaikan dengan kemampuan orangtua.

“Katanya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak bisa untuk sewa parkir dan berbagai program sekolah lain. Makanya kami bayar 200 ribu selama tiga tahun bisa dicicil. Kami sepakat. Tidak masalah,” kata sumber itu usai mengikuti rapat komite beberapa waktu lalu.

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komite SMA Negeri 8 Denpasar I Made Gde Putra Wijaya tidak menampik soal biaya tersebut. Ia menjelaskan, uang bulanan tersebut bukanlah SPP (Sumbangan Pengembangan Pendidikan), melainkan uang komite yang telah disetujui oleh seluruh orangtua/wali saat rapat. “Jadi itu keputusan bersama. Sama sekali tidak ada paksaan. Semua sudah tandatangan,” kata Putra Wijaya.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Perguruan Swasta (BMPS) Provinsi Bali I Gede Ngurah Ambara Putra secara tegas meminta pemerintah menyetop jargon sekolah gratis. Sebab, ia menilai jargon ini tidak benar, karena di sekolah negeri terbukti tetap membayar. “Sebaiknya diganti dengan jargon sekolah berkualitas,” pintanya, dalam sebuah kegiatan Juni 2021.

Pengelola persekolahan swasta, kata dia, sangat mendambakan terbangunnya sinergi yang baik antara pemerintah dengan yayasan pendidikan. Ia pun merasa kurang nyaman karena BMPS terkesan rebutan peserta didik dengan pemerintah. Padahal sekolah swasta hanya ingin melanjutkan kontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai catatan sejarah, sekolah swasta punya peranan yang penting mengantarkan negara ini di pintu gerbang kemerdekaan.

Ketua Umum BMPS Kota Denpasar yang juga Kepala SMA Harapan Nusantara, Made Dwi Risadiana menolak jika kualitas sekolah swasta kalah saing dengan negeri. Ia bisa membuktikan bahwa banyak sekolah swasta yang berhasil menorehkan prestasi di berbagai ajang sehingga turut mengharumkan nama daerah.

Soal biaya mahal juga ditepisnya mentah-mentah. Malahan, lanjut Dwi Risadiana, hampir semua sekolah swasta menunjukkan empati dengan memberikan berbagai keringanan biaya selama masa pandemi Covid-19. Hanya saja, jumlahnya menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing yayasan.

“Perlu diingat bahwa di sekolah swasta ada ratusan pegawa dan guru menggantungkan hidup mereka. Sedangkan sumber pendapatan yayasan bergantung dari peserta didik,” sentilnya. Ia tak henti mengimbau bagi calon peserta didik yang belum tertampung di sekolah negeri agar mendaftar di sekolah swasata terdekat. Pasalnya, kesuksesan seseorang ditentukan oleh diri sendiri, bukan di mana dia bersekolah. iga

Editor: E. Ariana

Related Stories