Catatan HUT Pertamina ke-65 Tahun, Memantapkan Efisiensi Menjaga Keberlanjutan BUMN

Ilustrasi Pertamina (Dok. Istimewa)

10 Bulan Desember adalah hari bersejarah bagi PT. Pertamina (Persero), tepatnya salah satu Badan Usaha Milik Negara atau BUMN terbesar yang dimiliki oleh Indonesia berusia 65 Tahun.

Diantara BUMN yang sangat dikenal publik, adalah PT. Pertamina (Persero) yang bergerak di industri minyak dan gas bumi, PT. Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) di sektor ketenagalistrikan.

Pertamina, sebagaimana halnya perusahaan non BUMN lainnya juga pernah mengalami berbagai perubahan yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan.

BUMN ini pernah memegang monopoli pendirian SPBU di Indonesia, namun monopoli tersebut telah dihapuskan pemerintah pada tahun 2001.

Bahkan, Pertamina juga telah menorehkan keberhasilan produksi minyak dan gas bumi sejumlah 965 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD) selama semester I tahun 2022.


Pertamina juga berhasil menghemat biaya operasional sekitar Rp 6 triliun per Juli 2022 melalui berbagai program efisiensi. Keberhasilan itu, jelas tidak lepas dari langkah strategis penghematan biaya yang dilakukan oleh Pertamina Group sejak awal 2022.

Makanya, publik juga harus memahami perjalanan BUMN, khususnya PERTAMINA berdasarkan tafsir mandat konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, diantara berbagai peraturan perUndang-Undangan serta kebijakan pemerintahan yang mempengaruhi kinerjanya. Tidak hanya menyampaikan secara tidak obyektif berdasarkan data dan kebijakan yang diembannya, serta hanya menyoroti soal kenaikan harga BBM ansich yang politis!

*Transformasi BUMN*

Pertamina adalah hasil gabungan dari perusahaan Pertamin dengan Permina yang didirikan pada tanggal 10 Desember 1957. Penggabungan ini terjadi pada 1968, setelah sebelumnya perusahaan merupakan perusahaan swasta milik Belanda, yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lebih dari 100 tahun.

Pasca proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semangat nasionalisme, maka terjadilah nasionalisasi harta kekayaan (asset) perusahaan atau korporasi swasta Belanda tersebut.

Dasarnya, adalah Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan milik Belanda di seluruh Indonesia yang ditetapkan parlemen
Tanggal 3 Desember 1958. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 yang menyatakan, bahwa perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik NKRI yang dalam hal ini dikelola oleh pemerintah.

Tuntutan ini pertama kalinya dilakukan oleh para buruh pribumi yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, yang jumlahnya saat itu kurang lebih 700 perusahaan.

Salah satu perusahaan yang dinasionalisasi, adalah PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PT ETMSU) yang pada masa itu mengambil alih lapangan minyak yang dikelola oleh  Shell, sebuah perusahaan migas raksasa milik Belanda. PT ETMSU sendiri dibentuk oleh pemerintah awal RI, sebagai hasil perubahan dari Perusahaan Tambang Minyak Rakyat Indonesia (PTMRI).

Selanjutnya, pada tahun 1957, di tengah semangat kemerdekaan dan  nasionalisasi harta kekayaan perusahaan asing di Indonesia, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kala itu, yaitu Jenderal Abdul Harris Nasution (AH. Nasution) menugaskan Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk sebuah perusahaan minyak negara.  pada 10 Desember 1957, dibentulah Perusahaan Tambang Minyak Negara (Permina).

Makanya, tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai peringatan hari lahirnya BUMN Pertamina, dan Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai Direktur Utama serta sekaligus diakui sebagai Dirut Pertamina yang pertama.

Perjalanan dan perkembangan BUMN PT Pertamina dalam industri migas nasional memang penuh dinamika dan dipengaruhi berbagai kebijakan dan perubahan iklim ekonomi dan industri di dunia. Setelah pada tahun 1962, Indonesia resmi bergabung ke dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Lalu, pada tahun 1967, Indonesia menjadi pelopor dalam pengelolaan Migas melalui sistem kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC). Dengan model PSC ini, maka seluruh wilayah Indonesia merupakan konsesi Permina dan Pertamin. Sementara perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia hanya berperan sebagai kontraktor dengan mekanisme kerjasama pola bagi hasil produksi minyak, bukan lagi dengan membayar royalti.

Untuk mengintegrasikan mekanisme kerjasama dalam industri Migas ini, maka pada tahun 1968, Permina dan Pertamin akhirnya digabung menjadi PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).

Pertamina sebagai perusahaan negara mempunyai tugas menjalankan seluruh operasi minyak dan gas bumi dari mulai hulu sampai ke hilirnya.Yangmana sebelumnya, dua sektor ini dijalankan masing-masing oleh Permina dan Pertamin. Integrasi ini dikukuhkan oleh pemerintah melalui UU Nomor 8 Tahun 1971 yang memuat aturan tentang peran Pertamina untuk menghasilkan dan mengolah migas dari ladang-ladang minyak yang ada di Indonesia. Pertamina juga berperan menyediakan seluruh kebutuhan bahan bakar minyak dan gas di Indonesia.

Pasca reformasi tahun 1998, terjadilah liberalisasi kebijakan ekonomi nasional yang berlebih-lebihan dengan pusat perhatian publik tertuju pada monopoli serta inefisiensi dan inefektifitas yang terjadi atas pengelolaan BUMN. Atas permasalahan ini, maka melalui UU nomor 22 tahun 2001, pemerintah mengubah kedudukan Pertamina sebagai operator penyelenggaraan Public Service Obligation (PSO) yang dilakukan melalui kegiatan usaha.

Terbentuk pula badan usaha lain yang mengatur industri Migas nasional, yaitu dihulu oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan dihilir oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi. Selain itu, diterbitkan juga UU Nomor 19 Tahun 2003 yang mengatur organisasi dan manajemen BUMN serta sebagai landasan terbentuknya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (KBUMN).

Semenjak adanya UU BUMN ini, maka pengelolaan organisasi dan manajemen BUMN lebih memiliki kekuatan hukum dalam melakukan aksi korporasi di satu sisi. Namun, disisi yang lain, beberapa materi dalam UU tersebut justru memberikan beban terlalu besar kepada BUMN, bahkan merugikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara, seperti pajak, penugasan, bagi hasil usaha dari keuntungan (dividen), tanggungjawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR) dan tugas-tugas insidentil serta keadaan darurat lainnya.

Disamping itu, ada 2 (dua) substansi pasal yang memberikan peluang terbuka bagi swastanisasi BUMN melalui kebijakan Initial Public Offering (IPO) di Pasar Efek (Bursa) Indonesia (Pasal 72-74 UU BUMN) dan kekuasaan Menteri BUMN yang terlalu besar dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang termaktub pada Pasal 14 UU BUMN, termasuk mengganti jajaran Direksi dan Komisaris BUMN sewaktu-waktu, bahkan tanpa alasan sekalipun karena tidak diatur dalam UU secara jelas, tegas dan lengkap.

*Revisi Kebijakan*

Banyak publik yang mungkin tidak paham, tidak tahu dan tidak mau tahu posisi BUMN pasca reformasi disebabkan oleh faktor monopoli, inefisiensi dan inefektifitas organisasi dan manajemennya yang menuai kritik pada masa pemerintahan Orde Baru.

Dan, seolah-olah masih menempatkan posisi BUMN sama dan sebangun dengan kebijakan sebelumnya, walaupun telah terjadi perubahan kebijakan atasnya. Paling tidak posisi BUMN telah diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Kemudian, UU Nomor 19 Tahun 2003, UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas, dan sebagian oleh UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta masing-masing yang diatur oleh UU sektoralnya, yangmana Pertamina secara sektoral terikat pada aturan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibawah koordinasi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (KESDM).

Berdasarkan ketentuan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka BUMN memang diberikan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation) dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN, termasuk dalam hal ini adalah kajian kelayakan (feasibility) finansial atau margin bagi BUMN.

Namun, jika kebijakan harga tersebut tak layak, maka Pemerintah harus mengkompensasi intervensi politik dalam penetapan harga tersebut kepada BUMN.

Selain UU, Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga melakukan pengaturan PSO itu dengan berulangkali merevisi aturan terkait penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kebijakan yang mengatur harga BBM ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.69 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 191 Tahun 2014 dan 43 Tahun 2018)  yang ditandatangani pada 3 Agustus 2021.

Perpres ini juga mengatur tentang ketentuan harga jual eceran jenis BBM tertentu (JBT) dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP) tersebut. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 14  terkait harga jual eceran BBM yang ditetapkan melalui peraturan atau keputusan Menteri Energi  Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Setelah UU BUMN yang mengatur PSO, ketentuan Perpres dan peraturan serta keputusan Menteri ESDM juga tidak membuat leluasa BUMN Pertamina bergerak sebagai korporasi. Bahkan, jika ada persetujuan perubahan harga jual BBM sekalipun dari pemerintah, tidak semua jenis produknya otomatis mengalami penyesuaian.

Sebaliknya yang terjadi pada perusahaan swasta, baik nasional maupun asing pada 2 (dua) faktor ini yang tidak diberikan beban penugasan dan lebih leluasa menetapkan harga jual. Tidaklah mungkin para mantan Menteri BUMN dan para Direksi atau Komisaris BUMN tidak mengetahui dan memahami jepitan aksi korporasi BUMN. Apalagi, kalau Menteri BUMN dan para Direksi atau Komisaris BUMN berasal dari orang-orang yang selama ini mengelola perusahaan swasta atau korporasi miliknya, tentu terdapat konflik kepentingannya (conflict of interest) dalam mengelola urusan bisnis BUMN. Kasus peralatan tes rapid, PCR dan vaksin merupakan bukti yang tak terbantahkan atas jepitan korporatisme di berbagai BUMN.

Tidak mungkin orang-orang seperti Dahlan Iskan, Rizal Ramli, Tanri Abeng dan Rini Soemarno serta yang lainnya tidak paham soal ini dan pernah terlibat didalamnya.

Oleh karena itulah, apresiasi yang tinggi patut diberikan publik kepada para Direksi dan Komisaris BUMN yang berhasil dengan ketenangan emosional mengelola BUMN dengan menghasilkan kinerja terbaik, yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh para Direksi dan Komisaris perusahaan atau korporasi swasta nasional atau asing lainnya.

Atas dasar inilah kita patut mempertahankan BUMN sebagai landasan kekuatan ekonomi dan keuangan negara, dengan misi melayani masyarakat konsumen Indonesia, bukan hanya mencari keuntungan semata. Untuk itu pulalah, publik harus menolak kebijakan IPO atas perusahaan-perusahaan negara yang telah diambil alih dulu dari perusahaan Belanda, termasuk BUMN Pertamina dan PLN.

Khusus bagi BUMN Pertamina, adalah menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menjaga keberlanjutannya dalam mengemban misi mandat ekonomi konstitusi yang integratif atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Atas berbagai usaha dan upaya, riuh rendah serta riak yang menghadang kinerja terkait beban peraturan dan perUndang-Undangan yang menjepit aksi korporasinya ditengah jepitan korporatisme pejabat kementerian merangkap pengusaha.

Maka, untaian kalimat Selamat Memperingati Hari Ulang Tahun ke-65 untuk BUMN Pertamina, melalui tulisan ini bisa menjadi kado sederhana yang dapat kami berikan. Teruslah menjadi penopang dan penyelamat perekonomian dan keuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Majulah Negaraku, Jayalah BUMN Pertaminaku. *

(*) Defiyan Cori, Ekonomi Konstitusi, alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Rohmat
Tags Defiyan CoriBagikan

Related Stories