“Bubuksah Gagangaking” Sesolahan Sastra Maha Bajra Sandhi yang Penuh Makna Simbolis

Pagelaran "Bubuksah Gagangaking" Maha Bajra Sandhi

Denpasar, Balinesia.id - Seni sesolahan (pagelaran) yang penuh makna simbolis disajikan Sanggar Maha Bajra Sandhi (MBS) dalam Bulan Bahasa Bali 2021. Sesolahan berjudul "Bubuksah Gagangaking", berkisah tentang sinkretisme Siwa-Budha sebagaimana tersurat dalam teks Bubuksah Gagangaking.

Budayawan Bali, Ida Wayan Oka Granoka, adalah konseptor utama pergelaran tersebut. Didampingi Ida Ayu Wayan Supraba, ide besar itu kemudian dieksekusi oleh sutradara, Cok Sawitri dan Dayu Ani, serta digarap Dayu Ani, Dayu Ade, Dayu Mang, Dayu Gek, dan Gus Torang.

Gus Torang mengatakan, karya yang disajikan sejatinya merupakan genre baru “gelar episteme” atau seni-sains-fondasional. Pergelaran ini memiliki keunikan karena menyiratkan kesemestaan ruang konsepsi Ida Wayan Oka Granoka. Penonton akan diajak terjun bebas menerka karya untuk menemukan maknanya.

"Seluruh substansi pemikiran dan pagelarannya sangat bertalian dengan program besar Maha Bajra Sandhi dalam perayaan siklus besar abad ke-21, tujuh Abad Bhinneka Tunggal Ika,” katanya beberapa waktu lalu.

Cerita "Bubuksah Gagangaking" sendiri meruapakan sebuah karya sastra yang bercita rasa sinkretis Siwa-Budha. "Walau demikian, Ida Wayan Oka Granoka tidak hanya terhenti pada teks tersebut, melainkan mengelaborasi teks-teks yang bersumber dari Puja Weda, dan Sutasoma. Di situ Ada landasan dasar filosofi yang sangat sublim pada pergelarannya,” jelas Gus Torang.

Alumnus Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Udayana ini mengatakan, elaborasi itu direalisasikan dengan menampilkan Sang Macan Angareng utusan dari surga turun untuk menguji sang dua pertapa bersaudara, yakni Bubuksah dan Gagangaking. "Kedua pertapa kami abstraksikan dengan gerak tari legong. Kami menambah lantunan kidung-kidung, gerak tari yang dinamis dan tetabuhan gamelan yang merupakan konsep kesatuan utuh dalam beryoga pada pegelarannya, magamel ida mayoga, masolah ida mayoga,” ucapnya.

Akhirnya, segenap konsep itu menghasilkan karya yang sangat estetis berdurasi 45 menit. Sajian ini sudah dapat ditayangkan melalui kanal YouTube Disbud Prov. Bali sejak Kamis, 25 Pebruari 2021.

Terkait dengan makna yang hendak disampaikan, Gus Torang membeberkan bahwa sajiannta menuntun semua orang agar mampu melaksanakan tugas-tugas mulia di bumi, didasari dengan nilai kepribadian keiklasan atau lastyaga. Dengan sikap itu, kita bersiap melalui tantangan yang sudah menunggu di depan. "Hal itu perlu sebuah keyakinan untuk menguatkan diri pada imun pemikiran yang integral," ucapnya.

Selain itu, sajian tersebut juga ingin menyampaikan pesan, bahwa hutan adalah tempat menggelar tapa brata. Oleh karenanya ia harus dimuliakan, sesuai dengan tema Bulan Bahasa Bali 2021 "Wana Kerthi: Sabdaning Taru Mahottama".

Pagelaran mengisahkan keberadaan dua orang bersaudara bernama Gagangaking dan Bubuksah yang bermaksud melakukan tapa brata di hutan. Mereka belajar dari seorang guru, namun dalam pelaksanaan laku bertapanya menempuh dua jalan yang berbeda.

Gagangaking bertapa di puncak gunung dan membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Oleh karena itulah, tubuhnya menjadi kurus-kering sehingga akhirnya dijuluki Gagangaking yang berarti "tangkai kering".

Sebaliknya, sang adik, Bubuksah, menempuh laku dengan menjadikan hutan sebagai tempat pertapaan. Ia menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk "tantangan" kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Bubuksah sendiri berarti "usus yang serakah".

Dalam laku yang berbeda itu, Gagangaking mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara laku yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut, sehingga kedua bersaudara terlibat dalam perdebatan.

Menyaksikan perdebatan tersebut, Batara Guru menjadi prihatin. Maka, diutuslah Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati keduanya dalam wujud harimau yang kelaparan. Kalawijaya mendatangi Gagangaking dan bermaksud memangsanya untuk menghilangkan laparnya. Gagangaking menolak maksud sang harimau dengan menyatakan bahwa ia terlalu kurus untuk dijadikan mangsa.

Selanjutnya, sang harimau menemui Bubuksah dan menyatakan ingin memangsanya. Bubuksah siap memberikan dirinya sebagai sajian kepada harimau. Ia menganggap itulah saatnya untuk menuju tujuan laku dan menghadap dewa.

Atas rasa tulus ikhlas itu, sang harimau menyatakan bahwa Bubuksah lulus ujian dan mempersilakannya naik ke punggungnya, untuk kemudian diantarkan menuju tempat para orang suci. Namun, sebelum berangkat, Bubuksah meminta sang harimau agar turut mengajak Gagangaking, karena ia juga telah melakukan laku tapa dengan tulus. Sang harimau menyetujui tapi dengan syarat Gagangaking tidak naik di punggungnya. Akhirnya Gagangaking ikut serta dengan berpegangan pada ekor sang harimau, untuk menuju ke tempat para orang suci bersama Bubuksah. (jpd/and)

Bagikan

Related Stories