Ekonomi & Pariwisata
Berkat Digitalisasi, Produk Kearifan Lokal di NTT Masuk Segmen Premium
Denpasar, Balinesia—“Kadang tidak tahu tiba-tiba ada menelpon dari Medan dan menanyakan produk. Sering kaget tetapi akhirnya paham dampaknya [digitalisasi],” ujar Olvira Ballo pemilik Outlet Kupang Mama Ana kepada Balinesia.
Outlet Kupang Mama Ana merupakan salah produsen makanan khas dari Nusa Tenggara Timur yang berlokasi di Kota Kupang. Berdiri sejak 2013, Olvira Ballo awalnya bermimpi mengenalkan hasil kuliner olahan tradisional dari pelosok NTT ke seluruh penjuru Nusantara. Mimpinya sederhana, ingin mempertahankan sejumlah kebudayaan serta kearifan lokal masyarakat sekitar.
Dia mencontohkan Gula Semut Timor saat itu sering dipandang sebelah mata. Dijual di pinggir jalan serta dibungkus seadanya. Padahal, di Pulau Sabu dan Pulau Rote merupakan penghasil terbesar Gula Semut Timor karena banyaknya keberadaan pohon lontar selaku bahan baku utama.
Produk kacang Kenari juga bernasib sama dengan gula semut timor. Padahal, dari segi kualitas tidak kalah bagus dengan kacang almond dan sentra produksinya banyak. Kondisi ini menyebabkan harga murah serta potensi hilang karena petani semakin banyak yang menebangi pohon kenari dengan alasan tidak ekonomis.
“Saya mimpi mengangkat produk seperti itu dan maunya menyasar pasar premium sehingga ada jaminan harga bagi petani. Jalan itu terbuka ketika internet dan ecommerce banyak,” tuturnya.
Jalan menuju pasar nusantara dengan harga premium terbuka pada 2016. Setelah memutuskan bergabung di ecommerce online Tokopedia serta membuat akun di Instagram maupun Facebook.
Lambat laun, orang mulai banyak bertanya ke nomor gawainya. Permintaan gula semut timor dan kacang kenari naik. Gula semut timor yang dijual seharga Rp20.000 per 200 gram laris manis. Begitu pula untuk kacang kenari. Pembelinya berasal dari Jakarta hingga Medan, Sumatra Utara.
Keputusannya ikut arus digitalisasi tidak saja mengenalkan produk NTT. Pandemi Covid-19 yang menekan penjualan ikut menyelamatkan penjualannya. Wanita yang akrab dipanggil Mama Ana ini mengakui ada penurunan penjualan tetapi permintaan ritel melalui marketplace online tetap ada. Mama Ana menekankan bahwa lokapasar virtual tidak sekedar berjualan, melainkan promosi gratis jenama.
“Banyak yang tanya dan inbox, itu secara tidak langsung menyelematkan kami juga. Sekarang minimal orang kenal dulu. Persoalan beli tidaknya itu nanti. Jadi membantu sekali digitalisasi ini di era pandemi sekarang,” jelasnya.
Pengakuan wanita yang akrab dipanggil Mama Ana ini sejalan dengan survey BPS NTT selama pandemi Covid-19. Hasil survei itu menunjukkan bahwa perusahaan yang sudah melakukan peamsaran via online sebelum pandemi mempunyai pendapatan lebih tinggi 1,22 kali dibandingkan dengan yang baru online saat pandemi.
Menariknya, ada sekitar 4,2 persen perusahaan baru di NTT yang menggunakan internet dan TI untuk pemasaran.
Mama Ana menceritakan bahwa kini petani di Pulau Rote dan beberapa daerah yang menjadi mitranya bisa tersenyum lega. Disebabkan oleh masih adanya permintaan dengan standar harga yang jauh berbeda dibandingkan dengan harga pasar.
Menurut Lead External Communication Tokopedia Ekhel Candra Wijaya, saat ini transaksi Tokopedia sudah tersebar hingga 99 persen kecamatan di seluruh Indonesia. Hal tersebut sangat membantu pelaku-pelaku usaha di daerah yang infrastrukturnya tidak memungkinkan mendukung peningkatan transaksi.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTT I Nyoman Ariawan Atmaja menekankan bahwa digitalisasi adalah salah satu kunci utama bagi pengembangan UMKM di provinsi ini.
Dia mengatakan inovasi digital telah meningkatkan efisiensi karena tambahan kemampuan agen ekonomi dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Interkonektivitas agen ekonomi memotong rantai distribusi barang dan jasa, mendorong sebaran informasi secara lebih merata, dan secara keseluruhan mengefisienkan aktivitas ekonomi.
“Jika dianalogikan bahwa teknologi digital menyebabkan mobil dapat melaju dengan super cepat, maka diperlukan perubahan pada kualitas jaringan jalan raya, rambu-rambu lalu lintas, mengurangi simpul-simpul kemacetan, mengurangi risiko bahaya,” jelasnya.
Upaya mendigitalisasi UMKM di daerah ini menjadi sangat penting untuk memutus persoalan problem geografis. Mengutip survei East Ventures, daya saing digital NTT pada 2021, berada pada posisi ke 29 dari total 34 provinsi yang disurvei.
Artinya, NTT salah satu provinsi dalam kategori daya saing digitalnya rendah di Indonesia. Ada adagium di kalangan masyarakat bahwa sinyal internet di daerah ini berkualitas GSM atau Geser Sedikit Mati.
Padahal, peran UMKM di NTT sangat strategis. Berdasarkan survei BPS NTT pada 2016, jumlah UMKM di provinsi yang memiliki 1.197 pulau ini terdapat 473.000 pelaku usaha UMKM. Artinya, 99 persen pelaku usaha di daerah ini kategori UMKM. Segmen ini juga menyerap hingga 70 persen tenaga kerja, dari total jumlahnya mencapai 1,5 juta orang. Kontribusi UMKM terhadap PDRB NTT ditaksir mencapai 64,7%.
Nyoman menekankan bahwa NTT turut mengejar ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju dan digital di Indonesia. Secara transaksi pada triwulan II/2021 jumlah transaksi e commerce di NTT mencaai Rp217,74 juta atau meningkat 87,45 persen jika dibandingkan transaksi periode sama tahun sebelumnya.
Transaksi uang elektronik atau dompet elektronik pada periode Jnauari sampai Agustus 2021 mencapai Rp192,61 juta meningkat 614 persen jika dibandingkan
“Dengan adanya digitalisasi sistem pembayaran di NTT tersebut, kami harapkan pertumbuhan ekonomi di NTT juga dapat terakselerasi. Pertumbuhan ekonomi NTT pada triwulan II 2021 tumbuh sebesar 4,22% (yoy), dan kami perkirakan di triwulan III 2021 ini masih terus meningkat dan dapat tumbuh sebesar 3,49 % (yoy),” jelasnya.(roh)