Budaya
Arsitektur Tradisional Bali Jawab Kebutuhan Ruang saat Pandemi
GIANYAR – Arsitektur tradisional Bali menjawab kebutuhan ruang di tengah pandemi. Secara tradisional, arsitektur Bali mengandung unsur-unsur yang mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan, jarak fisik, hingga proteksi anggota keluarga.
Akademisi Universitas Udayana, Dr. Ir. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, S.T., SDs., M.A., IPU, ASEAN Eng., menjelaskan, pesan-pesan itu diantaranya dapat dilihat melalui keberadaan dapur yang ditempatkan di bagian depan pekarangan, berdekatan dengan pintu masuk. Kedudukannya yang sedemikian rupa mengarahkan penghuninya jika datang dari luar rumah harus masuk dapur terlebih dahulu.
"Secara filosofis, dapur dimaknai sebagai panglukat sarwa mala (pembersih segala kekotoran, red)," katanya belum lama ini.
Dijelaskan, di dapur ada kekuatan Dewa Brahma yang diwakili dengan api serta Dewa Wisnu yang berupa air. "Jadi energi di dapur itu lengkap. Dalam konteks fisik seperti sekarang, pesannya kalau kita datang dari luar harus cuci tangan dulu. Sekarang ditambah dengan sabun sehingga keadannya jadi bersih,” ucapnya.
Dari sisi tata bangunan, pekarangan orang Bali secara tradisional rata-rata juga luas. Halaman atau natah menjadi unsur penting yang berperan sebagai ruang terbuka, sekaligus mencipta jarak antar satu bangunan dengan bangunan lain.
Kedudukan ini memungkinkan penerapan distansi fisik secara lebih maksimal. Sehingga, andai kata ada salah seorang anggota keluarga terpapar suatu penyakit memungkinkan mengisolasi diri dan tak menjangkit anggota keluarga yang lain.
Selain itu, bangunan tradisional Bali juga membedakan penghuninya menurut bangunan. Contohnya, bale dangin difungsikan sebagai bangunan upacara atau tempat tinggal orang tua, bale daja untuk hunian, dan seterusnya.
“Fungsi bangunan orang Bali itu spesifik, misalnya anak lingsir (orang tua, red) tinggal di bale dangin, sehingga terproteksi jika seandainya ada anaknya yang terpapar,” jelasnya.
