Ari Dwipayana: Perjuangan Agama Bali sebagai Hindu Diwarnai "Konflik" Pemikiran

AAGN Ari Dwipayana saat memberi Orasi Ilmiah dalam acara Dies Natalis ke-1 UHN IGB Sugriwa, Selasa (25/5/2021)

Bangli, Balinesia.id - Mata rantai perjuangan agama Bali sebagai Hindu hingga diakui sebagai agama resmi negara telah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan. Sepanjang perjuangan itu, berbagai "konflik" pemikiran dari para cendekiawan Hindu Bali menjadi warna tersendiri dalam mata rantai sejarah.

Hal tersebut dinyatakan Koordinator Staf Khusus Presiden RI, AAGN Ari Dwipayana, ketika memberikan Orasi Ilmiah dalam Dies Natalis ke-1 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus (UHN IGB) Sugriwa, di Kampus UHN IGB Sugriwa Bangli, Selasa (25/5/2021). Pada kesempatan itu, tokoh Puri Kauhan Ubud ini menyajikan orasi berjudul "Keluar dari Pusaran: Aktivisme Hindu dalam Menghadapi Tantangan dan Masa Depan".

Ia menjelaskan, sebelumnya, Agama Bali tidak memiliki nama atau identitas tunggal. Ada yang menyebutkan sebagai agama Siwa-Budha, Agama Tirtha, Agama Tri Murti, Agama Hindu-Bali dan Agama Bali-Hindu. Keragaman penamaan Agama Bali ini terjadi karena orang Bali menjalankan agama secara otopraksis, melanjutkan tradisi yang mengalir tanpa putus dari masa ke masa. Semua tradisi itu berasal dari akar Hinduisme di India dan telah mengalami proses pelokalan,  bercampur dengan tradisi-tradisi lokal yang tumbuh dalam masyarakat Jawa maupun Bali.

Selama proses itu, para cendekiawan yang memunculkan gagasannya tentang agama Bali sering mengalami "konflik" pemikiran yang berjalan dinamis. Gagasan-gagasan itu banyak diungkapkan melalu sejumlah media massa pada masanya, seperti Bali Adjana, Surya Kanta, Bhawanagara, Djatajoe, dan sebagainya . Namun, di balik polemik kebudayaan itu, para intelektual Bali sama-sama memiliki kesamaan pemikiran. "Pertama, para intelektual Bali merasa perlu mempertahankan Bali dari ancaman penyebaran agama lain dari luar. Kedua, mereka memandang Bali sebagai entitas tunggal yang memiliki adat dan kebiasaan sendiri," katanya.

Dalam merumuskan eksistensi Agama Bali, intelektual Bali mencari pertautan agama Bali dengan India. Upaya ini dilakukan dengan mendorong kaum terpelajar Bali memperdalam pengetahuan mereka tentang bahasa Sansekerta, agar bisa menemukan sumber-sumber utama Weda, Upanisad, juga Bhagawadgita.

Interaksi antara intelektual Bali dengan kaum terpelajar India juga terjadi kala itu. Interaksi itu ditandai dengan kedatangan Prof. Raghu Vira dan Pandhit Shastri ke Bali. Sebaliknya, dimulai tahun 1950, India Council fo Cultural Relations memberikan beasiswa kepada kaum terpelajar Bali untuk belajar di universitas di India. "Salah satunya Ida Bagus Mantra yang mendapatkan kesempatan belajar di Vishva Bharati di Shantiniketan, Benggala, yang kemudian diikuti beberapa penerima beasiswa lainnya, seperti Ida Bagus Oka Punyatmadja dan Tjokorda Rai Sudartha," katanya.

Basis intelektualitas yang semakin beragam pada akhirnya berhasil mencapai ktitik penting dalam perumusan dasar-dasar kanon teologis agama Hindu Bali. Kanon teologis tersebut bisa menjadi dasar dan pegangan dalam memberikan penjelasan ke pihak eksternal maupun menjadi basis internalisasi ke dalam. Perumusan sifat universal dari agama Hindu-Bali juga menjadi dasar perubahan nama agama Hindu-Bali menjadi agama Hindu, atau bahkan selanjutnya lebih ditekankan lagi menjadi Agama Hindu Dharma. 

"Setelah kemerdekaan, tantangan utama yang dihadapi para kaum terpelajar Bali adalah masalah pengakuan dari Negara Republik Indonesia. Hal itu terjadi karena Negara RI yang baru merdeka ikut memberikan mendefinisikan agama dan menentukan kriteria agama yang resmi diakui negara," katanya.

Sebagai langkah lanjutan terhadap hal itu, pada tahun 1952, Kementerian Agama menetapkan syarat-syarat agar suatu agama diakui oleh negara. Para intelektual Bali kala membutuhkan waktu kurang lebih 13 tahun untuk mendapatkan pengakuan dari negara. Momen puncaknya adalah tanggal 29 Juni 1958, delegasi yang mewakili lima perkumpulan Agama Hindu-Bali menemui Presiden Sukarno di Istana Tampaksiring untuk menyampaikan resolusi.

"Delegasi terdiri dari Ida Pedanda Made Kemenuh (Paruman Para Pandita), I Gusti Anandakusuma (Satya Hindu Dharma), Ida Bagus Wayan Gede (Yayasan Dwijendra), Ida Bagus Gde Dosther (Angkatan Muda Hindu-Bali), dan I Ketut Kandia (Panti Agama Hindu Bali). Presiden Sukarno didampingi I Gusti Putu Merta (Ketua DPRD), A.A. Bagus Suteja, dan I Gusti Bagus Sugriwa dari Dewan Pemerintah Daerah Bali. Pertemuan itu membuahkan hasil, di mana pada tanggal 5 September 1958, Menteri Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.2 tahun 1958, memutuskan membentuk Bagian Hindu Bali di Kementerian Agama RI. Hal ini menandai tahap penting perjuangan mendapatkan pengakuan resmi dari Negara pada agama Hindu-Bali," terangnya.

Ia menambahkan, salah satu keberhasilan kaum terpelajar Bali adalah invensi kelembagaan dengan mendirikan Parisada sebagai majelis tertinggi agama Hindu yang berskala nasional.

"Namun, Parisada sebagai majelis tertinggi agama Hindu yang bersifat tunggal, tersentralisir, dan berskala nasional menimbulkan kosekuensi. Parisada menjadi medan baru yang menggantikan saluran aspirasi berbagai kepentingan kelompok keumatan. Dan, memindahkan arena perdebatan, polemik kebudayaan yang terjadi sebelumnya terjadi antar berbagai perkumpulan ke Parisada. Hal ini nampak jelas dari dinamika yang terjadi di tubuh Parisada, sejak awal berdirinya sampai dengan hari ini," jelasnya.

Meski Parisada masuk dalam berbagai pusaran, Ari Dwipayana menekankan bahwa pergerakan Hindu sesungguhnya tidak hanya berputar di Parisada. "Aktivisme Hindu jusru bergerak di akar rumput, terutama di kantong-kantong umat Hindu di luar Bali yang melahirkan para pembela dan pejuang terus bergerak ditengah kesulitan. Kehadiran mereka membuat agama Hindu mempunyai harapan, bukan hanya untuk bisa bertahan, tetapi untuk bergerak untuk kehidupanyang lebih baik," pungkasnya. jpd

Bagikan

Related Stories