Arah Kebijakan Energi Pemerintah atas Komitmen Keberlangsungan Eksistensi BUMN

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Presiden ke-7 Republik Indonesia disebut sebagai alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) dari Fakultas Kehutanan, maka sebagai salah seorang alumnus kami mencoba mengingatkan beliau dalam memimpin jalannya roda pemerintahan. Setidaknya melalui penggalan bait lagu Hymne Gadjah Mada  menjelaskan arah dan tujuan keberpihakan para alumnus UGM, sebagai berikut:

"Bakti kami mahasiswa Gadjah Mada semua, Kuberjanji memenuhi panggilan bangsaku,

Didalam PANCASILAmu,

Jiwa seluruh Nusaku,

Kujunjung Kebudayaan mu,

Kejayaan INDONESIA.

Mengacu pada bait tersebut, maka Presiden atau pemerintah tidak boleh gegabah dan tanpa berpikir dampak jangka panjang dari berbagai kebijakan ekonomi yang diambilnya atas stabilitas pengelolaan perekonomian nasional serta imbal baliknya (trade off). Terlebih lagi, disaat kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid19 yang tidak konsisten bagi stabilitas jalannya perekonomian bangsa dan negara disegala bidang atau sektor. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dalam keadaan normal (periode 2014-2019) sebelum pandemi Covid19 melanda juga tidak ada perubahan, berkisar pada angka 4-5 persen saja. Dan, menjadi aneh serta tanda tanya besar bagi publik saat pertumbuhan ekonomi pada Semester I-2021 melejit ke angka 7,07 persen.

Selanjutnya, terkait pengelolaan entitas ekonomi dan bisnis yang dimandatkan oleh konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, kami menuntut pemerintah konsisten dan bertanggungjawab menjalankannya, terutama pada cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terutama sehubungan dengan tanggapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif atas kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium yang akan dihapus saat dipertanyakan oleh anggota Komisi VII DPR yang menyatakan kekhawatirannya terhadap beban yang akan dihadapi oleh masyarakat di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), memang perlu menjadi pertimbangan matang.

Selain itu, yang lagi menjadi perhatian publik khususnya pegiat energi adalah soal rencana revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Salah satu ketentuan ekspor-impor listrik dari 65% menjadi 100% yang akan dimuat dalam kebijakan baru tersebut dan menuai sorotan beragam kalangan.


Untuk itu, kami meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM untuk secara serius memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Berdasar publikasi data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2021, terdapat peningkatan jumlah angka kemiskinan mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu membuat tingkat kemiskinan mencapai 10,14 persen dari total populasi nasional. Termasuk kontribusi BUMN selama ini sebagai agen pembangunan nasional (agent of development), alokasi dividen yang utuh dan kebijakan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) yang kontraproduktif bagi kemakmuran rakyat banyak.

2. Sehubungan dengan adanya perubahan konsumsi jenis BBM premium ke pertalite, sebenarnya bagaimanakah kebijakan skema alokasi subsidi dan insentif yang akan ditempuh pemerintah mengenai harga jual ke konsumen akhir, seiring terjadi nya peningkatan harga keekonomian minyak mentah dunia yang berfluktuasi diantara US$60-75 per barrel, apa saja kebijakan yang sudah diambil oleh Kementerian ESDM terhadap kondisi ini terkait dengan beban penugasan ke BUMN Pertamina dan PLN?

3. Terkait dengan peta jalan (roadmap)BBM saat ini sesuai dengan program Langit Biru dan pembangunan ketenagalistrikan yang dijalankan Pertamina dan PLN, memang telah terjadi perubahan tingkat penjualan atas pertalite secara drastis terutama pada saat pandemi dan harga minyak mentah (crude) turun, namun konsistensi kebijakan pemerintah atas subtitusi produk energi, khususnya BBM dan komitmen energi bersih lingkungan harus memperhatikan kajian mendalam manfaat dan dampaknya bagi masyarakat luas, terutama kelompok masyarakat miskin. Begitu pula halnya dengan kebijakan pembangunan ketenagalistrikan sebesar 35.000 Megawatt yang dimandatkan kepada PLN telah membuat terjadinya pasokan berlebih (over supply) sehingga menjadi beban dihilir industri, sementara penguasaan hulunya dikuasai oleh korporasi swasta dengan metode pembayaran Take Or Pay (TOP) yang dilematis bagi BUMN

4. Memperhatikan 3 (tiga) faktor di atas, kami meminta Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM sebagai pemangku kebijakan untuk tidak saja berkomitmen atas perlunya kebijakan energi bersih lingkungan dengan membandingkannya dengan negara lain, seperti contoh salah satu negara Vietnam yang dijadikan rujukan disatu sisi.

Disisi lain mengabaikan negara-negara lain seperti USA dan kawasan Eropa yang mengimpor batu bara dari Indonesia adalah sangat naif, selain itu tanpa memperhatikan adanya sosialisasi dan iklim kebijakan yang komprehensif melandasinya kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).

Misalnya juga, terkait pemilihan (preferensi) kebijakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang tidak memperhatikan skala ekonomis dan ketersediaan relatif cukup atas potensi lebih besar sumber energi alternatif lainnya di tanah air dan cenderung menguntungkan kepentingan pengusaha swasta atau investor secara kasat mata. Hal ini tentu saja akan semakin mempersulit pencapaian kinerja manajemen dalam melayani kebutuhan konsumen rakyat Indonesia melalui harga yang wajar, bahkan lebih jauh bisa mengancam eksistensi BUMN dalam jangka panjang.

5. Disamping itu, kebijakan kandungan lokal (local contents) yang harus dipenuhi  oleh kalangan pengusaha dan industriawan serta menjadi komitmen dari Trisakti dan Nawacita Presiden semestinya didukung oleh Kementerian terkait, khususnya Kementerian Perindustrian yang menjadi sektor utama (leading sector) untuk pemenuhan Tingkat Kandungan Dalam Negeri ini (TKDN) dibawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan alumnus UGM untuk diindahkan.

Oleh karena itu, kami meminta Presiden Joko Widodo memberikan perhatian serius atas perlunya kembali memahami makna Hymne Gadjah Mada di atas demi perbaikan kebijakan energi beserta dampak lingkungan yang ditimbulkannya serta lebih berkeadilan dan mengutamakan kepentingan nasional.

Terutama berhubungan dengan kapasitas ekonomi masyarakat Indonesia ditengah pandemi Covid-19, mobilitas masyarakat yang masih terhambat oleh kebijakan pengendalian dari pemerintah sendiri yang tidak sejalan dengan mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan konsistensi kebijakan, lebih khusus pada kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harus dipenuhi. Tentu saja kami ingin mengetuk pintu hati senior kami sesama alumnus UGM yang kebetulan saat ini mengemban amanah untuk mempertimbangkan masukan kami ini demi kepentingan bait terakhir lagu Hymne Gadjah Mada itu, Kejayaan INDONESIA. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 


Related Stories