Apa Kemendesakan (Urgency) Melakukan Sub Holding di BUMN Pertamina?

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Oleh: Defiyan Cori  *

Menarik untuk dicermati dan dipahami atas apa yang disampaikan oleh Dahlan Iskan (mantan Menteri BUMN era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono) melalui tulisannya yang beredar secara online. Apakah memang tidak ada masalah mendasar soal keputusan restrukturisasi organisasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam rangka efisiensi dan efektifitas organisasi Pertamina.

Sementara, pada posisi Pertamina saat ini sangat rentan untuk diprivatisasi atau dijual sebagian sahamnya (stock split) dengan melakukan Initial Public Offering/IPO seperti halnya dulu menjadi bagian yang dijalankan oleh Dahlan Iskan atas BUMN Garuda Indonesia.  Maka, langkah Erick Tohir melakukan sub holding atas Anak Perusahaan/AP Pertamina dapat menjadi indikasi awal akan diterbitkannya langkah lanjutannya, yaitu kebijakan IPO.

Mengapa IPO bisa terjadi atas AP Pertamina pasca langkah sub holding tidak lain karena didalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN ruang kebijakan melakukan IPO BUMN sangat terbuka luas. Melalui IPO inilah kepentingan pihak pemilik modal swasta dan asing turut campur mengambil alih kepemilikan saham Negara dalam proses dan mekanisme IPO di pasar bursa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apalagi sosok Menteri BUMN saat ini berasal dari kalangan pengusaha atau pemilik korporasi swasta yang berpengalaman dilingkungan pasar modal.

Kepemilikan Masyarakat

Pernyataan Pasal 72 huruf d, UU BUMN secara normatif memang mendukung kebijakan atas restrukturisasi dan privatisasi BUMN dilakukan dengan cara yang mudah. Disamping kemudahan melakukan privatisasi tersebut, ruang lingkup dan besaran porsi kepemilikan saham negara yang dipecah bagikan kepada publik juga tidak dinyatakan secara jelas (eksplisit) untuk BUMN tertentu. Atau tidak ada penjelasan secara khusus yang melengkapi mengenai BUMN apa saja yang bisa diprivatisasi dan yang tidak bisa diprivatisasi disatu sisi.

Disisi yang lain, Pasal 74 menyatakan pula maksud dari privatisasi adalah untuk memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero. Terhadap pasal ini, tentu publik mempertanyakan soal terminologi "Kepemilikan Masyarakat" yang dimaksud dengan pertanyaan retoris, yaitu apakah memang selama ini BUMN bukan milik masyarakat luas? Selanjutnya, setelah BUMN diprivatisasikan  dan sebahagian saham Negara yang dipecah itu berada pada sebagian publik/kelompok masyarakat saja, pertanyaannya kemudian adalah bukankah sisa persentase saham Negara yang tidak diIPOkan di pasar bursa menjadi berkurang? Lalu, apa dan bagaimana rumusan yang digunakan oleh pemerintah cq. Kementerian BUMN dalam melakukan kebijakan pemecahan saham Negara (stock split) serta membagi persentase tertentu kepada publik?

Lebih dari itu, terminologi kepemilikan masyarakat inipun menjadi perdebatan tersendiri menyangkut siapa yang mewakili masyarakat dan berapa besaran persentase dari masyarakat yang bisa memiliki saham BUMN yang dipecah bagikan dan diperjualbelikan di pasar bursa berdasarkan pengalaman IPO yang telah terjadi pada beberapa BUMN. Pembelajaran atas data dan fakta privatisasi sangatlah penting, terutama sekali pada kasus IPO BUMN Garuda Indonesia dan Anak Perusahaannya Merpati Nusantara Airlines. Kemudian, kebijakan IPO menjadi tanda tanya bagi publik atau Warga Negara Indonesia sebagai pemegang sah saham BUMN mengenai siapa para pihak yang disebut masyarakat dan menguasai saham BUMN yang telah IPO dimaksud?

Yang anehnya, justru  ahli hukum Hikmahanto Juwana dan Yusril Ihza Mahendra pernah menyatakan bahwa IPO sub holding tidak melanggar hukum? Tentu saja jika anda hanya mengacu pada UU liberal yang saat ini berlaku, tetapi apakah tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan sejarah nasionalisasi BUMN pasca kemerdekaan. Bahkan soal kepemilikan saham negara yang tidak lagi utuh 100 persen atau dasar konstitusi ekonomi diprivatisasi atau memecah sahamnya melalui IPO sampai 49% sekalipun, untuk tujuan apa dipecah sahamnya?

Para ahli hukum yang masih menganggap negara masih menjadi pemegang saham mayoritas atau masih pegang kendali persero patut dipertanyakan atas kondisi kinerja beberapa BUMN pasca kebijakan IPO, khususnya yang dialami oleh Garuda Indonesia. Bahkan, menjadi pertanyaan publik lagi berdasar akuntabilitas manajemen atas kasus fraud yang terjadi pada laporan keuangan Garuda Indonesia pada Tahun 2018 lalu, yang semakin menegaskan, bahwa tidak adanya jaminan dengan IPO atau saham berada sebagian ditangan publik, maka transparansi dan akuntabilitasnya lebih terjamin. Faktanya, justru banyak pengusaha atau korporasi swasta nasional yang kolutif dan koruptif menjadi penyebab krisis ekonomi dan keuangan selalu dibantu pemerintah dan membebani keuangan negara. Bukankah langkah ini kembali memutar pendulum penguasaan ekonomi pada era kolonialisme Belanda melalui dominasi VOC dengan paradigma sistem ekonomi kapitalismenya?

Fungsi Holding Terbatas

BUMN Pertamina disebut oleh Dahlan Iskan memasuki babak baru, yaitu hanya benar-benar  menjadi holding saja. Terkait operasionalisasi, maka sepenuhnya akan berada pada kebijakan manajemen dari sub-sub-holding, demikian keputusan terbaru Menteri BUMN Erick Thohir yang mulai berlaku pada Hari Jumat, tanggal 10 September 2021. Terdapat 6 (enam) sub holding dari Holding BUMN Pertamina, yaitu:

1. Upstream, yang mengelola semua proses operasi usaha dihulu bisnis, termasuk adang-ladang minyak dan gas yang dimiliki oleh Pertamina.

2. Refining & Petrochemical, yang mengelola 5 (lima ) kilang besar dan industri kimia yang dimiliki saat ini, dan kemungkinan pembangunan kilang baru kelak.

3. Commercial & Trading, yang bertanggungjawab mengelola penjualan Bahan Bakar Minyak/BBM, termasuk melakukan pembelian minyak mentah.

4. Power & NRE, yang menangani geotermal dan energi baru seperti solar cell dan baterai lithium.


5. Bidang Gas bumi yang dikelola oleh Perusahaan Gas Negara/PGN.

6. Bidang Shipping, yaitu yang mengelola urusan perkapalan Pertamina, khususnya kapal-kapal tanker yang mengangkut distribusi minyak di dalam dan luar negeri.

Kemana sebenarnya arah dan tujuan reorganisasi dan restrukturisasi BUMN Pertamina ini, apa Kemendesakan (urgency) ditengah kinerja Pertamina yang positif? Benar apa yang disampaikan oleh Dahlan Iskan, bahwa reorganisasi Pertamina ini merupakan langkah yang amat besar, tidak mudah dan mungkin menjadi permasalahan didalam tubuh Pertamina Group atau istilah Dahlan Iskan, diinternal lagi meriang. Secara sederhana disampaikannya, bahwa banyak pihak yang kehilangan kekuasaan cukup besar disebabkan banyak jabatan lama yang harus hilang dan mereka harus pindah ke anak perusahaan.

Sebaliknya, dengan orang-orang yang berada di Anak Perusahaan/AP Pertamina secara organisasional juga harus menghadapi gelombang mutasi staf internal, ditambah harus mengakomodasi titipan (istilah Dahlan Iskan: kiriman) orang-orang dari pusat dan mungkin juga partai politik dan anggota kabinet pemerintahan Presiden Joko.Widodo.

Catatan Dahlan Iskan penting untuk dicamkan publik, bahwa restrukturisasi ini atas inisiatif Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Tohir tentu saja Dahlan Iskan tak punya hak untuk setuju atau tidak setuju, sebagaimana  atas keputusan IPO Garuda Indonesia diera Menteri BUMN Mustafa Abubakar. 

Namun, Dahlan Iskan justru sependapat dengan langkah Erick Thohir itu dengan alasan secara struktur bisa lebih bagus dan jelas, pertanyaannya apakah sebelum kebijakan holding-sub holding tidak bagus dan jelas, pada hal mana sajakah itu?  Tidak disebutkan dan diuraikannya. Apalagi berdasar data dan fakta kinerja manajerial BUMN Pertamina sampai dengan Semester I-2021 yang membukukan laba Rp2,6 Triliun, maka sub holding bukanlah menjawab tantangan masa depan seperti sinyalemen Dahlan Iskan.

Sebagai mantan Menteri BUMN, Dahlan juga harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada BUMN Garuda Indonesia, tidak perlu terlalu jauh soal masa depan Pertamina. BUMN Garuda Indonesia diIPOkan pada Februari 2011, saat itu harga saham yang ditawarkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 750 per lembar saham. Sayangnya, harga perdana saham tersebut menjadi polemik, dan banyak kalangan menilai jika harga perdana yang ditawarkan pemerintah itu terlalu mahal.

Drama saham Garuda justru tak berhenti di harga saja, satu tahun berikutnya setelah Menteri BUMN diganti menjadi Dahlan Iskan. Dahlan Iskan saat itu memiliki Pekerjaan Rumah/PR untuk menawarkan sisa saham Garuda Indonesia yang dimiliki tiga sekuritas BUMN lagi. Dahlan lalu menawarkannya kepada 5 (lima) orang pengusaha nasional melalui SMS, yaitu kepada Sandiaga Uno, Rachmat Gobel dan Chairul Tanjung, Anthony Salim dan Nirwan Bakrie.

Oleh karena itu, selentingan yang didengar oleh Dahlan Iskan terkait apa yang akan terjadi setelah restrukturisasi, bahwa Pertamina lebih bisa mencari uang, terutama dari pasar modal melalui  sub-sub holding-sub holding itu yang juga bisa go public melalui IPO, satu per satu terjawab sudah sejak awal sebagaimana yang telah dilakukannya dahulu. Bahkan IPO justru malah bisa dilakukan sendiri oleh sub holding-sub holding tersebut. Ditambah lagi dengan nama-nama sub holding berbahasa asing,  tentu saja akan semakin memperluas arah kepentingan IPO di pasar bursa.

Demikian juga soal penataan harta kekayaan (asset) apa mungkin justru dengan adanya restrukturisasi akan lebih aman dan terjaga? Apa jaminan blok-blok minyak yang telah diambil alih dengan mengeluarkan sejumlah besar dana (istilah mantan Menteri ESDM Jonan) melalui mekanisme bisnis ke bisnis (business to business) atau bukan soal nasionalisme tidak akan dibagi-bagi sahamnya (share down), di luar konteks pesimisme publik atas kemampuan Pertamina dalam mengelola hasil blok-blok minyak tersebut.

Jadi, restrukturisasi yang dilakukan oleh Erick Tohir bukanlah ayunan langkah besar masa depan seperti yang disampaikan dalam tulisan Dahlan Iskan, apalagi soal kemendesakannya (urgency). Langkah yang diambil Erick Tohir ini justru akan mengkerdilkan kapal besar BUMN Pertamina dengan tujuan hanya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan tambah memperbesar pengusaha atau korporasi swasta maupun asing yang sudah besar apabila IPO sub holding menjadi kenyataan, lalu dimana sebenarnya posisi keberpihakan Dahlan Iskan?. (*)

_______________

*Penulis adalah Ekonom Konstitusi, pernah bekerja di Bappenas alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

__________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 

Editor: Rohmat

Related Stories