Angkat Topik Transisi Hijau Global, Kanopi FEB UI Sukses Gelar Seminar Economix: Global Economic Challenge

Kanopi FEB UI Sukses Gelar Seminar Internasional Economix: Global Economic Challenge (Freepik)

JAKARTA –  Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia sukses dalam menggelar seminar internasional Economix: Global Economic Challenge dengan mengangkat topik mengenai masa depan rantai nilai dan transisi hijau global sebagai fokus utama. 

Economix: Global Economic Challenges adalah acara tahunan terbesar yang diselenggarakan oleh KANOPI FEB UI. Pada penyelenggaraan ke-21, Economix menghadirkan rangkaian kegiatan, termasuk seminar internasional, kompetisi internasional, dan Model United Nations (MUN). 

Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum dari berbagai negara. Tujuan Economix FEB UI adalah memfasilitasi diskusi, berbagi ide, dan pertukaran pandangan antar peserta dengan latar belakang yang beragam. 

Seminar internasional ini dihadiri oleh pembicara terkemuka yang masing-masingnya menyampaikan persoalan global yang tengah dihadapi saat ini, termasuk solusi-solusi yang berpotensi untuk dikembangkan.

Berikut ini rangkuman pidato-pidato dari sejumlah pembicara yang hadir pada acara yang diselenggarakan pada hari Senin, 27 November 2023, tersebut.

Perjalanan, Teknologi, dan Dampak Globalisasi

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, globalisasi dapat diartikan sebagai integrasi ekonomi, sosial, dan politik antar-negara yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu. 

Dalam konteks ini, beliau menjelaskan bahwa semua negara maju menghargai waktu sebagai salah satu aspek kunci dalam dinamika globalisasi.

Menurut Jusuf, globalisasi memiliki akar sejak tahun 80-an, di mana fenomena ini menjadi semakin terasa dan terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. 

Jusuf menguraikan bahwa salah satu pemicu utama globalisasi adalah perubahan paradigma ekonomi, yang melibatkan pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Keynes dan Milton Friedman. 

Resesi tahun 1929 memicu pemikiran Keynes mengenai peran pemerintah dalam mengatasi masalah ekonomi, sementara Friedman pada tahun 50-an membawa konsep liberal kembali ke permukaan.

Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet juga menjadi salah satu episentrum perubahan. Dengan runtuhnya Uni Soviet dan kebijakan keterbukaannya, Tiongkok pun mengubah arah ekonominya dari tertutup menjadi terbuka. 

Hasilnya, globalisasi menjadi fenomena yang tidak terhindarkan. Jusuf mencontohkan bahwa teknologi, seperti handphone, menjadi manifestasi sederhana dari globalisasi. Desain oleh Amerika, shipping dan input melalui Taiwan, namun produksi dilakukan di Tiongkok.

Namun, seperti yang dijelaskan Jusuf, dampak globalisasi tidak selalu positif. Beberapa negara, khususnya Tiongkok, mampu menguasai pasar global karena efisiensinya, menyebabkan persaingan menurun dan industri di negara berkembang mati suri. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan global karena kekuatan globalisasi yang terlalu dominan.

“Globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif. Contoh efek negatif  bisa melihat di Eropa dan Amerika  yang mulai menerapkan proteksionisme untuk melindungi ekonomi sendiri. Namun contoh selanjutnya seperti Brexit, perang Rusia Ukraina. Negara semakin memproteksi dirinya sehingga muncul deglobalisasi. Dulu orang bebas ekspor - impor namun sekarang dibatasi. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok baru di belahan dunia sehingga ekonomi terpecah lagi,” kata Jusuf. 

Teknologi menjadi pendorong utama globalisasi, terutama melalui perkembangan internet dan penggunaan kontainer. Jusuf menekankan bahwa tanpa penguasaan teknologi, suatu negara tidak akan maju. 

Sayangnya, Indonesia masih tertinggal dalam aspek ini, tergantung pada produk asing daripada menghasilkan produk dalam negeri.

Selain itu, Jusuf juga membahas dampak negatif globalisasi terhadap lingkungan. Emisi yang semakin besar akibat eksploitasi sumber daya alam telah membuat dunia semakin panas. 

Solusi menurut Jusuf adalah beralih ke sumber energi terbarukan. Dengan demikian, Jusuf menekankan pentingnya peran anak muda dalam memajukan negeri ini melalui pemahaman dan penggunaan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Kerja sama Internasional dalam Menghadapi Tantangan Ekonomi dan Lingkungan di Asia Tenggara

Chief Operating Officer Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Koji Hachiyama menyoroti pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan ekonomi dan lingkungan yang semakin meluas.

Dalam pidatonya, Hachiyama menekankan bahwa saat ini kita berada pada titik kritis pengambilan keputusan untuk menangani risiko pasokan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan ekonomi yang terus berkembang. 

Rantai nilai global yang saling terhubung memerlukan stabilitas geopolitik sebagai kunci transformasi ekonomi global. 

Meskipun ketegangan ekonomi antara AS dan Cina mempengaruhi ASEAN, upaya kolaboratif perusahaan dan negara untuk memperkuat rantai pasokan telah meningkatkan ketahanan dan kemampuan untuk pulih dari krisis.

Hachiyama juga mencatat bahwa konflik ekonomi antara Timur dan Barat menciptakan peluang unik bagi negara-negara berkembang di Asia Pasifik, termasuk ASEAN. 

Setelah perang ekonomi Cina-AS, ekspor dari negara-negara ASEAN ke AS tumbuh pesat, menunjukkan keberhasilan diversifikasi dan interkoneksi rantai pasokan mereka.

Dalam menghadapi bencana alam dan pandemi, perusahaan telah melakukan diversifikasi dan interkoneksi rantai pasokan mereka untuk mendorong produksi yang lebih adaptif. 

Indonesia, sebagai anggota aktif ASEAN, APEC, dan G20, telah mengambil pendekatan proaktif untuk memperkuat dan mempercepat rantai pasokannya.

Ketegangan geopolitik juga mendorong negara-negara ASEAN untuk memainkan peran sentral dalam upaya global untuk mencapai transisi hijau. 

Sebagai kontributor signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, memiliki tanggung jawab besar dalam memerangi perubahan iklim. 

“Dalam konteks ini, transisi energi hijau akan menjadi perjalanan panjang yang membutuhkan kerja sama, pemahaman, dan tekad. Hal ini pasti akan membawa perubahan besar, oleh karena itu penting juga untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan sadar akan kebutuhan energi hijau,” papar Hachiyama.

Pentingnya Hilirisasi dalam Restrukturisasi Ekonomi 

Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Pertahanan Indonesia, membahas urgensi kegiatan hilirisasi sebagai strategi kunci dalam pembangunan dan restrukturisasi ekonomi di negara berkembang, khususnya Indonesia.

Purnomo Yusgiantoro membuka pembicaraannya dengan merinci evolusi geopolitik dari masa lalu hingga saat ini, menyoroti perubahan dari geopolitik tradisional menuju geoekonomi dan, saat ini, geopolitik lingkungan. 

Dia kemudian mengarahkan fokusnya ke transisi energi hijau, menyoroti peran penting laporan keberlanjutan Brundtland pada tahun 1987 dan konferensi Rio tahun 1992 dalam membentuk agenda pembangunan berkelanjutan.

Dalam konteks transisi energi global, Purnomo menekankan pentingnya memahami rantai nilai energi yang melibatkan sektor hulu, tengah, dan hilir. 

Dalam konteks ini, perhatian utama diberikan pada sektor hilir, yang mencakup penggunaan akhir energi untuk listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga.

Mengenai kasus Indonesia, Purnomo memaparkan perubahan dramatis dalam keseimbangan produksi dan konsumsi minyak dan gas. 

Dari surplus pada 1960-an hingga 1990-an, Indonesia berubah menjadi negara importir. Fokusnya kemudian beralih pada hilirisasi, yang dimulai pada 2009 dengan regulasi hilirisasi batubara dan mineral.

Purnomo menyoroti kebutuhan untuk menggali potensi energi bersih dan mengatasi tantangan emisi, terutama dari sumber energi tradisional seperti batu bara. Dalam hal ini, Purnomo menggarisbawahi kepentingan teknologi baru untuk mengurangi dampak lingkungan.

“Eksplorasi itu penting, di negara berkembang kita tidak bisa langsung beralih ke energi hijau. Oleh karena itu, kita perlu bergerak selangkah demi selangkah. Kemitraan dengan berbagai negara sangat penting karena kita membutuhkan teknologi hijau dan bersih untuk meminimalkan biaya rantai nilai dan juga meminimalkan emisi,” kata Purnomo. 

Dalam merumuskan strategi hilirisasi, Purnomo merekomendasikan pendekatan triple helix, menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi. 

Dia menekankan bahwa transisi ke energi hijau haruslah bertahap dan selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) dan Perjanjian Paris.

Strategi Hilirisasi untuk Indonesia yang Berkelanjutan

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Juan Permata Adoe, membahas strategi hilirisasi untuk menjadikan Indonesia berkelanjutan. 

Ia mengungkapkan bahwa proyek hilirisasi Indonesia memerlukan investasi besar, dengan fokus pada ekspor dan pengembangan industri berbasis teknologi.

Peta jalan hilirisasi menunjukkan capaian ekspor Indonesia yang mengesankan pada tahun 2022, mencapai nilai penjualan sebesar US$291,98 miliar (Rp4,51 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp15.450 per-dolar AS) . 

Mineral dan crude palm oil (CPO) serta turunannya menjadi komoditas unggulan, dengan China tetap sebagai pasar potensial terbesar pada tahun 2023, mencapai nilai penjualan sebesar US$51,16 miliar atau setara dengan Rp790,42 triliun 

Juan menyoroti potensi ekspor ke berbagai pasar, termasuk China, India, Bangladesh, dan Pakistan. Dalam konteks ini, ia menggarisbawahi pentingnya konsentrasi lebih lanjut dalam memilih pasar ekspor untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sebagai contoh keberhasilan hilirisasi, Juan menyebutkan industri mobil listrik yang telah menetapkan target nasional ambisius, yaitu mencapai 2 juta mobil listrik dan 13 juta sepeda motor listrik pada tahun 2030. 

Pertumbuhan instalasi stasiun pengisian baterai yang pesat pada 2022, dengan pertumbuhan lebih dari 200% dari tahun sebelumnya, memberikan peluang besar bagi eksportir dan investor, khususnya kalangan muda.

Namun, Juan Permata juga mengakui tantangan yang dihadapi, terutama terkait dengan adopsi teknologi. Dalam menjawab tantangan ini, ia menekankan perlunya peningkatan manajemen dasar dan praktik teknologi di industri dasar, pengembangan kemampuan inovasi di industri menengah, dan pemeliharaan posisi teknologi terdepan di industri maju.

Salah satu solusi yang diusulkan Juan Permata adalah melalui kemitraan lelang dengan entitas asing yang membutuhkan sumber daya kritis seperti nikel dan mineral lainnya. 

Selain itu, dia menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang mendukung dan menarik investasi, serta pengelolaan dana untuk jasa konsultasi teknologi.

Pemerintah juga diminta untuk mengoptimalkan teknologi dalam transaksi post-border, termasuk impor dan penjualan produk di dalam negeri. 

Juan memberi contoh kasus persepsi yang buruk terhadap TikTok dari segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menghadapi kesulitan.

“Namun, jika kita menggunakan teknologi ini dengan cara yang benar, kita dapat menggunakan TikTok Shop, Shopee, dan lainnya untuk melakukan hal yang sama dengan menggunakannya sebagai lompatan ekspor Indonesia ke China. Ekspor Indonesia 2023 sekarang menurun sekitar 12%, jadi kita harus melihat bagaimana kita dapat meningkatkan ekspor dengan mengadaptasi teknologi,” ujar Juan. 

Australia Dorong Kerjasama Ekonomi Hijau dengan Indonesia untuk Transisi Energi

Duta Besar Australia untuk Indonesia, Penny Williams, menegaskan komitmen Australia untuk memperluas hubungan investasi ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dalam upaya mencapai ekonomi yang lebih hijau. 

Dalam pidato yang disampaikannya, Williams menyoroti kompleksitas tantangan dalam mencapai tujuan ekonomi yang lebih berkelanjutan sambil menjaga keterbukaan pasar global.

"Pemerintah kami sangat berkomitmen untuk mendukung kawasan ini dengan keahlian dan teknologi untuk mendukung transisi menuju ekonomi yang lebih hijau," ungkap Williams.

Dikatakan Williams, Australia memiliki potensi untuk membantu Asia Tenggara dalam mencapai kebutuhan transisinya dan sekaligus menciptakan peluang investasi untuk mendukung tujuan manufaktur energi bersih di Australia.

Menyoroti hubungan bilateral Australia dan Indonesia, Williams mengajak untuk melihat lebih dari sekadar aspek perdagangan. 

"Kita perlu memikirkan keterlibatan ekonomi strategis, terutama di bidang transisi energi, vagaimana kita dapat menciptakan rantai pasokan baru dan mendorong investasi perusahaan Indonesia di sektor minyak, gas, dan mineral di Australia, serta sebaliknya,” katanya. 

Dalam konteks ini, Australia dan Indonesia telah menandatangani kemitraan perubahan iklim senilai dua ratus juta dolar di bidang infrastruktur. Williams menekankan penandatanganan MoU antara Menteri Perindustrian dan Ilmu Pengetahuan Australia dengan pihak Indonesia untuk membangun kerjasama dalam pengembangan kendaraan listrik.

Bukan hanya soal kendaraan listrik, penandatanganan tersebut disertai pula dengan pembahasan mengenai penelitian dan transfer teknologi..

Dengan 14,3% dari ekonomi Australia berasal dari sektor pertambangan dan 63,3% dari ekspornya terkait dengan sumber daya alam, Australia dikatakan Williams menyadari kesamaan dengan ekonomi Indonesia. 

Williams melihat potensi kolaborasi dalam energi terbarukan, kendaraan listrik, dan rantai pasokan penyimpanan baterai sebagai langkah menuju ekonomi yang lebih hijau.

"Waktu ini adalah waktu yang menyenangkan untuk bekerja sama dalam hubungan ekonomi dan memikirkan bersama tentang cara mentransisikan ekonomi kita ke arah yang lebih hijau," pungkas Williams. 

Panas Bumi: Kunci Energi Terbarukan Indonesia Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Dalam upaya mendukung visi Indonesia menuju negara tanpa emisi pada tahun 2060, Nelwin Aldriansyah, Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy, menyampaikan komitmen perusahaan dalam mengelola trilema energi: keamanan energi, kesetaraan, dan keberlanjutan.

Sebagai langkah nyata, Pertamina Geothermal Energy memandang potensi besar energi panas bumi sebagai kontributor signifikan. Indonesia, duduk di cincin api Pasifik, memiliki keberuntungan dengan sumber daya panas bumi melimpah. 

Saat ini, panas bumi menyumbang sepertiga kebutuhan energi Indonesia, namun kontribusinya baru mencapai 11%. Pertamina Geothermal Energy berambisi meningkatkan kontribusi ini menjadi 25% dalam tiga tahun mendatang.

Pertamina, yang secara tradisional dikenal sebagai perusahaan bahan bakar fosil, telah aktif mempersiapkan transisi energi selama beberapa tahun terakhir. 

Nelwin menanggapi perbandingan biaya antara panas bumi dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Meskipun biaya langsung PLTU lebih rendah, penting untuk mempertimbangkan insentif dan kewajiban pasar domestik yang membuat harga batubara lokal lebih murah.

Menghadapi target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia sebesar minimal 32% pada tahun 2030, Pertamina Energy fokus pada investasi energi terbarukan. 

Sementara tenaga panas bumi dan panel surya telah menjadi fokus, pemerintah Indonesia juga berencana menerapkan pajak karbon untuk mendukung energi terbarukan. Ini diharapkan akan menyamakan posisi antara energi terbarukan dan bahan bakar fosil.

Pasar karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi instrumen investasi baru yang meningkatkan pendapatan untuk proyek-proyek energi terbarukan. 

“Meskipun perusahaan tidak dapat mengurangi jejak karbon mereka saat ini, mereka dapat mengimbangi jejak karbon dari pasar karbon. Kami masih belajar dari negara-negara maju tentang mekanisme ini,” ungkap Nelwin.

Perubahan Iklim dalam Mencapai Visi Indonesia Emas 2045

Deputi Menteri Bidang Pangan dan Pertanian, Dida Gardera, menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia terus tumbuh dengan kecepatan solid, mencapai pertumbuhan sekitar 5% pada kuartal ke-3 tahun 2023. 

Keberhasilan ini didorong oleh permintaan domestik yang kuat, dan optimisme untuk pertumbuhan lebih lanjut di kuartal terakhir.

Namun, dalam konteks gejolak global, Gardera juga menyampaikan peringatan tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan akan terjadi tahun ini dan tahun depan. 

Laporan IBCC pada Maret 2023 menyebutkan bahwa pemanasan global semakin mengkhawatirkan, dengan suhu global meningkat 1,5 derajat pada paruh pertama tahun 2030. Hal ini disebut Dida sebagai tantangan serius yang membutuhkan upaya serius pula. 

Dida menekankan pentingnya mengatasi perubahan iklim dalam mencapai visi "Indonesia Emas 2045." Pertumbuhan PDB tahunan di atas 6% dikatakan Dida sebagai sesuatu yang krusial, dan pemerintah berusaha mengalihkan perekonomian ke produktivitas yang lebih tinggi untuk terus mendorongnya.

Salah satu langkah konkret adalah fokus pada industri hilirisasi, termasuk perkebunan, khususnya kelapa sawit. 

Indonesia, yang menghasilkan sekitar 70% dari total ekspor minyak kelapa sawit, meningkatkan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan untuk memperluas penerimaan di pasar internasional.

Dalam mendukung transisi ke rantai nilai global yang berkelanjutan dan transisi hijau, pemerintah berkomitmen pada pengembangan pupuk organik dan mendorong pertanian ramah lingkungan. 

Upaya ini juga mencakup kebijakan industri hijau untuk mengurangi emisi dari industri manufaktur yang intensif karbon, serta dukungan untuk transportasi rendah emisi, terutama melalui kendaraan listrik.

“Pemerintah, investor, pengusaha, dan akademisi memiliki peran penting dan berharap forum ini dapat memupuk kolaborasi dan komunikasi yang baik sehingga menghasilkan ide-ide baru dan kontribusi yang tepat waktu untuk menghadapi isu global yang akan datang,” papar Dida. 

'Ekonomi Barbenheimer': Memahami Dinamika Globalisasi dan Perdagangan Internasional

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Tom Lembong, menyampaikan pidato yang berjudul "The Barbenheimer Economy," membahas dinamika ekonomi global dan tantangan perdagangan internasional di tengah gejolak geopolitik dan pandemi global.

Dalam pidatonya, Lembong menggambarkan perbedaan warna cerah dan gelap ekonomi global, merujuk pada optimisme ekonomi Amerika Serikat yang terang benderang seperti warna pink barbie, dan kontrastnya dengan warna gelap yang mencerminkan konflik geopolitik, pandemi, dan krisis iklim.

“Di sisi lain, kita memiliki warna Oppenheimer yang gelap, abu-abu, suram, hitam dan putih yang mencerminkan konflik geopolitik, pandemi global, perang di Ukraina dan Palestina, dan krisis iklim. Kami memiliki dua sisi ini seperti halnya Barbenheimer,”ungkap Tom.

Menyoroti pentingnya menjaga rantai nilai global dan perdagangan internasional, Tom menegaskan keyakinannya bahwa dunia tidak berada dalam periode deglobalisasi, meskipun ada perubahan dalam bentuk dan pola globalisasi.

Tom memberikan contoh perkembangan pesat dalam lalu lintas data global. Dari tahun 2004 hingga 2024, jumlah data dan informasi yang melintasi batas negara terus meledak. 

Pada tahun 1992, lalu lintas internet global hanya 100 gigabyte perhari. Sekarang, pada tahun 2022, lalu lintas internet dikatakan Tom telah mencapai 150.700 gigabyte perdetik.

Transisi Energi Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060

Yudo Dwinanda Priaadi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Indonesia, memberikan gambaran komprehensif tentang transisi energi Indonesia. 

Sebagai negara kepulauan, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius terkait dampak perubahan iklim yang semakin meningkat.

Sejak tahun 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami peningkatan suhu sekitar 0,03 derajat Celsius pertahun. Kenaikan permukaan air laut berkisar antara 0,8 hingga 1,2 cm pertahun, menjadi kekhawatiran utama karena sekitar 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. 

Perubahan iklim juga meningkatkan tingkat bencana hidrometeorologi, memaksa pemerintah untuk fokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2030.

Dalam NDC tersebut, pemerintah menetapkan target penurunan 358 juta ton (31,9%) emisi CO2. Upaya ini melibatkan efisiensi energi, energi terbarukan, pembangkit listrik berteknologi bersih, bahan bakar rendah karbon, dan reklamasi tambang. 

Selaras dengan komitmen Net Zero Emission 2060, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama pemangku kepentingan telah merancang peta jalan untuk menurunkan emisi sektor energi sebesar 129,4 juta ton pada tahun 2060, atau 93% dari kondisi bisnis biasa.

Salah satu strategi utama dalam mencapai tujuan ini adalah pengembangan energi baru terbarukan (EBT), elektrifikasi, moratorium pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), serta penerapan efisiensi energi. 

Untuk mendukung pengembangan EBT, Yudo menekankan perlunya super grid modern dan terintegrasi untuk menghubungkan pulau-pulau besar di Indonesia. 

Ini akan membangun infrastruktur transmisi yang tangguh, meningkatkan pengembangan EBT, dan menyediakan akses energi yang lebih luas kepada masyarakat.

Meskipun potensi EBT Indonesia mencapai 3.687 GW, baru 0,3% (12.792 MW) yang telah dimanfaatkan. Kendala utama adalah intermittency, terutama di iklim Indonesia yang memiliki rata-rata 5 jam sinar matahari sehari. 

Yudo juga menyebutkan bahwa biaya investasi untuk EBT, terutama panel surya dan turbin angin, lebih terjangkau dan dapat bersaing dengan PLTU batu bara berkapasitas 800 MW. Pengurangan pajak dan biaya penggunaan sumber daya alam menjadi alternatif untuk menekan harga EBT.

Selain dari pembangkit listrik, pemanfaatan biomassa dan biofuel juga menjadi opsi alternatif. Pencampuran biomassa dengan batu bara pada PLTU yang sudah ada dan kewajiban penggunaan 35% bahan bakar nabati dalam solar adalah langkah-langkah nyata menuju pengurangan bahan bakar fosil.

“Teknologi, rantai pasokan, infrastruktur, pendanaan dan insentif, serta transisi energi yang adil adalah beberapa tantangan menuju transisi energi. Infrastruktur harus dikembangkan dengan memperluas dan meningkatkan infrastruktur energi saat ini untuk mengakomodasi energi tak terbarukan berskala besar dengan tetap menjaga keamanan dan keselamatan energi. Pertumbuhan industri energi terbarukan bergantung pada kolaborasi semua pemangku kepentingan, yang kemudian mendorong penelitian nasional,” ujar Yudo.

Transisi Hijau di Indonesia: Menyiasati Krisis Planet melalui Inovasi Kebijakan

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia, menyampaikan pidato mengenai penerapan multi-instrumen lingkungan untuk mempercepat transisi hijau di Indonesia. 

Dalam presentasinya yang berjudul "Dari Komando dan Kontrol ke Instrumen Berbasis Pasar," Sani mengajak untuk bersama-sama memahami dan mengatasi tantangan lingkungan yang dihadapi, terutama dalam konteks pertambangan ilegal, kebakaran hutan, dan polusi udara.

Sani memulai pidatonya dengan menyuarakan kebingungannya terhadap konsep "transisi hijau" yang seringkali menjadi pusat perbincangan. 

Ia bertanya, apakah ini hanya langkah lebih lanjut dari pembangunan berkelanjutan atau sebuah kerangka kerja yang berbeda secara fundamental. Tanpa berniat berdebat, Sani lebih fokus pada langkah-langkah konkrit menuju transisi hijau.

Pemerintah Indonesia, melalui KLHK, menghadapi berbagai masalah, termasuk pertambangan ilegal dan kebakaran hutan yang terjadi setiap hari. 

Sani menekankan perlunya pengakuan bersama terhadap masalah-masalah ini sebagai langkah awal untuk memulai transisi hijau. 

Ia juga merinci bahwa ketiga krisis planet, yaitu pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ketahanan iklim, saling berkaitan dan dapat mengancam ketahanan lingkungan secara keseluruhan.

Dalam konteks ketidakpastian lingkungan saat ini, Sani memperingatkan bahwa kelangkaan pangan, air, dan energi dapat berujung pada kenaikan harga, memperparah krisis yang sudah ada. 

Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya transisi hijau sebagai solusi, mencatat bahwa model ekonomi berbasis minyak telah gagal dan menciptakan banyak krisis.

Untuk mencapai transisi hijau, Sani menekankan pentingnya keterlibatan adaptif pemerintah, inovasi perusahaan, dan partisipasi aktif masyarakat dalam gaya hidup berkelanjutan. 

Ia memberikan contoh konkrit transisi hijau, termasuk perubahan dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular, penggunaan energi terbarukan, dan pergeseran dari penebangan hutan ke perdagangan karbon.

Namun, Sani juga mengakui tantangan dalam implementasi transisi hijau, terutama terkait peran negara dan desain kebijakan yang sesuai. 

Dalam hal ini, ia menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terkait karbon, subsidi teknologi hijau, dan keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pasar modal karbon.

“Sekarang, yang paling penting adalah membangun budaya kepatuhan. Kita masih membutuhkan penegakan hukum yang kuat dan instrumen command & control. Kemudian, jika hal tersebut sudah terpenuhi, kita bisa bergerak lebih dari sekadar kepatuhan,” kata Sani. 

Sani menyampaikan pulabahwa transisi hijau membutuhkan insentif finansial, yang dapat diperoleh melalui dukungan internasional, pasar, dan subsidi pemerintah. 

Sani berharap agar lembaga keuangan dapat membantu mendorong transisi hijau dengan menghentikan dukungan terhadap aktivitas ilegal dan menerapkan instrumen berbasis pasar seperti pajak karbon, perdagangan karbon, obligasi hijau, ekolabel, dan peringkat kinerja..

Menghadapi Tantangan Disrupsi dan Dekarbonisasi

Dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai perwakilan dari Calon Presiden Ganjar Pranowo, Poempida Hidayatullah, menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi perubahan dunia, khususnya disrupsi dan dekarbonisasi. 

Dalam konteks ini, Ganjar-Mahfud mengusulkan sebuah konsep yang melibatkan penegakan hukum yang berkeadilan untuk mencapai keadilan sosial.

Salah satu fokus utama Ganjar-Mahfud disebut Poempida adalah menciptakan lapangan kerja, dengan target ambisius mencapai 17 juta pekerjaan. 

Langkah ini diambil untuk menyeimbangkan bonus demografi yang, jika tidak ditangani dengan baik, dapat menjadi risiko nasional. 

Poempida mengatakan, Ganjar-Mahfud menggarisbawahi pentingnya peran Indonesia dalam menciptakan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari, terutama untuk generasi muda yang sangat bergantung pada lapangan pekerjaan.

Namun, sambil menciptakan lapangan kerja, Indonesia dihadapkan pada disrupsi digitalisasi yang membawa tantangan tersendiri. Menurut Poempida, Ganjar-Mahfud menyoroti bahwa disrupsi ini berasal dari implementasi teknologi yang datang dari luar negeri, yang belum sepenuhnya dikuasai oleh Indonesia. 

Untuk menghadapi hal ini, ia mengajukan solusi untuk hidup berdampingan dengan teknologi dan AI, dengan fokus pada peningkatan daya saing nasional.

Ganjar-Mahfud dikatakan Poempida telah mengusulkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Pertumbuhan ekonomi ini dianggap suatu keharusan, dan untuk mencapainya, Indonesia perlu mencari sumber pembiayaan yang murah. 

Salah satu langkah yang diambil adalah dengan mengundang investor dari luar negeri atau menggunakan sumber daya lokal. 

“Tapi mengapa tingkat keberhasilannya masih rendah? Hal ini dikarenakan penegakan hukum di Indonesia masih tertinggal dan masih ada ketidakpastian?” pungkas Poempida. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 29 Nov 2023 

Tulisan ini telah tayang di halojatim.com oleh Redaksi pada 29 Nov 2023  

Editor: Redaksi Daerah
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Lihat semua artikel

Related Stories