Ada Apa Dibalik Rencana Akuisisi Bank Mayora oleh Royke Tumilaar

Ekonom konstitusi Defiyan Cori (Balinesia)

Royke Tumilaar yang saat ini menjabat Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) telah mengungkapkan rencana perseroan untuk mengakuisisi sebuah bank. Pernyataan itu disampaikan pada media Televisi swasta nasional pada Hari Kamis, tanggal 21 Oktober 2021. Dirut BNI itu menyebutkan, bahwa rencana tersebut sudah dalam proses negosiasi kesepakatan antara pemilik lama Bank Mayora dan BNI. 

Ada apa dan kenapa Royke Tumilaar tertarik melakukan akuisisi Bank Mayora, adakah murni sebagai aksi korporasi atau terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) pribadi?

Kemampuan Bank Mayora

Yang agak aneh, adalah rencana akuisisi Bank Mayora ini tidak dilakukan sendiri oleh BNI, melainkan menjalin kemitraan strategis dengan investor baru yang kuat dalam bidang teknologi, disinyalir berasal dari Singapura. Lalu apa sebenarnya latarbelakang, maksud dan tujuan akuisisi Bank Mayora ini oleh Royke Tumilaar, adakah hubungannya dengan kredit macet yang dialami oleh debitur di Bank Mayora yang kemudian diambil alih oleh BNI, sebagaimana banyak kasus terjadi di berbagai bank umum, seperti Bank Panin yang masih dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

Pertama Kali, Klungkung Mulai Tanam Padi secara Pertanian Organik

Berkaitan investor dari Singapura tersebut, maka telah beredar sebelumnya foto kerjasama antara BNI, Bank Mayora, dan salah satu investor asal Singapura, SEA Group, pemilik e-commerce Shopee dan PT Bank Seabank Indonesia. Apalagi kedua bank terakhir ini tidak memiliki jaringan dan kompetensi diperbankan sebelumnya, jangan sampai hanya memanfaatkan BNI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bersusah  dibangun sejak perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara. Apalagi komposisi saham negara pada BUMN Perbankan ini yang dipegang oleh pemerintah hanya sebesar 60 persen dan sisanya sebesar 40 persen merupakan saham publik (individu, swasta dan asing) sangat rawan penyimpangan aksi korporasi.

Atas dasar itu dan seiring perubahan dalam teknologi dan informasi dalam urusan transaksi jasa perbankan (electronic financial intermediary revolution) yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-20 telah memungkinkan terjadi kemudahan dan kecepatan dalam pelayanan di satu sisi. Namun, disisi yang lain, berbagai kasus kejahatan perbankan yang menimpa nasabah akan memperburuk citra bank sebagai lembaga terpercaya dan prinsip kehati-hatian lembaga perbankan (Prudential banking) semestinya dipegang teguh.

Parahnya, justru kasus kehilangan dana nasabah semakin meningkat, yang mutakhir justru dialami oleh salah satu deposan nasabah BNI Makassar berinisial IMB yang mengalami kerugian sejumlah Rp45 Miliar. Selain itu, ada pula nasabah lain berinisial H yang mengalami kerugian Rp16,5 Miliar. Korban lainnya yaitu nasabah R dan A yang mengalami kerugian senilai Rp50 Miliar, tetapi sudah dibayar sebagian oleh pihak BNI. Dengan berbagai kasus kehilangan deposito para nasabah BNI, masihkah pihak BNI melalui Dirut Royke Tumilaar percaya pada kemampuan teknologi digitalisasi yang berasal dari investor asing tersebut?

Sementara itu, Bank Mayora sendiri masih perlu melakukan penambahan modal inti hingga akhir tahun ini sesuai dengan ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),  yangmana diakhir tahun ini bank tersebut wajib memiliki modal inti minimal Rp2 Triliun. Sebagaimana yang tertera dalam situs resminya, Bank Mayora telah mendapatkan izin usaha Bank Umum sesuai SK Menteri Keuangan RI No. 719/KMK.017/1993 tanggal 14 Juli 1993 dan menjadi Bank Umum Devisa di tahun 2013 sesuai Surat Keputusan Gubernur BI No. 15/5/KEP.DPG/2013 tanggal 7 Mei 2013.

Namun, dalam laporan keuangannya per Juni 2021 Bank Mayora mencatat modal intinya hanya berjumlah Rp1,21 Triliun, atau masih di bawah ketentuan wajib dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni minimal Rp2 Triliun tahun ini dan Rp3 Triliun tahun depan. Dengan keadaan kemampuan modal seperti ini, lalu apa motif Royke Tumilaar atas rencana akuisisi Bank Mayora yang dikenal sebagai bank yang membiayai perusahaannya sendiri?


Parahnya Kredibilitas OJK

Berdasarkan sejarah terbentuknya, fungsi bank secara khusus sebenarnya terdiri dari tiga aspek yaitu: Pertama, yaitu agen atau lembaga kepercayaan (Agent of Trust) merupakan fungsi utama yang dimiliki oleh bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary), yaitu lembaga kepercayaan dengan menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana yaitu penyimpan dana atau kreditur, dan menyalurkannya pada pihak yang membutuhkan dana (debitur) tersebut. Fungsi ini akan berjalan lancar bila ada kepercayaan atau trust.

Kedua adalah fungsi agen pembangunan (Agent of Development), dalam kegiatan perekonomian masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sektor moneter dan sektor riil yang saling berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini, fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur dana diperlukan untuk kelancaran kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat seperti kegiatan produksi, investasi, distribusi dan juga konsumsi barang serta jasa.

Yang ketiga merupakan agen jasa atau pelayanan (Agent of Services), yaitu fungsi bank yang menawarkan berbagai macam jasa selain mengumpulkan dan menyalurkan dana, juga memberikan penawaran berbagai jasa perbankan lain kepada masyarakat seperti transfer uang, inkaso, perjanjian pinjaman (letter of credit), anjungan tunai mandiri (automated teller machine), pasar uang (money market) dan lain sebagainya yang hubungannya erat dengan kelancaran kegiatan perekonomian masyarakat secara umum.

Bank merupakan lembaga keuangan yang pada umumnya didirikan dengan pemberian kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan menerbitkan banknote. Definisi bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atau UU Perbankan yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau lainnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.

Sayangnya dalam praktek perbankan, tidak sedikit kasus yang menimpa masyarakat atau nasabah yang justru merugikan dan menurunkan taraf hidup masyarakat serta membawa bangsa dan negara menghadapi krisis keuangan.

Kasus-kasus hilang atau lenyapnya dana nasabah di berbagai bank umum swasta dan pemerintah telah marak terjadi dalam kurun waktu lima (5) tahun terakhir. Tidak sedikit publik mempertanyakan hakikat dari keabsahan kerahasian data dan informasi perbankan serta modal kepercayaan yang dititipkan oleh nasabah pada lembaga perbankan ini.

Jika kejahatan perbankan ini tidak segera diantisipasi dengan cepat dan tanggap oleh lembaga yang berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia, maka manfaat bank sebagai lembaga tempat penyimpanan dana akan menjadi tidak terjamin lagi.

Akankah OJK mengulangi kesalahan yang sama dalam melakukan kinerja pengawasan dengan latar belakang kasus yang berbeda praktek perdagangan terselubung didalam (insider trading) dalam proses akuisisi antar lembaga perbankan? Jika hal ini terjadi, maka akan semakin memperparah kredibilitas OJK sebagai lembaga pengawas atau otoritas dari lembaga jasa keuangan dan perbankan sehingga akan berdampak pada  runtuhnya kepercayaan publik. (*)

* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

____________________________________________

Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.

 


Related Stories