Ini Profesi yang Paling Dicari di Era Gempuran AI Menurut CEO Nvidia, Bukan Pekerja Kantoran!

Ini Profesi yang Paling Dicari di Era Gempuran AI Menurut CEO Nvidia, Bukan Pekerja Kantoran! (Getty Images/Annabelle Chih )

JAKARTA – Generasi Z (Gen Z) sering mendengar bahwa peluang mereka mendapatkan pekerjaan semakin menurun akibat kemunculan kecerdasan buatan (AI) yang mulai menggantikan posisi level pemula.

Namun, CEO Nvidia Jensen Huang justru berpendapat sebaliknya, menurutnya, masa depan akan membuka lebih banyak peluang bagi pekerja dengan keterampilan teknis, bukan bagi pekerja kantoran seperti programmer atau software engineer.

Dalam wawancaranya bersama Channel 4 News di Inggris, Huang menjelaskan bahwa pesatnya pembangunan pusat data (data center) untuk menunjang ekosistem AI akan mendorong lonjakan kebutuhan tenaga kerja di bidang keterampilan teknis.

Baca Juga: AI Diprediksi Meledak di Masa Depan, Pusat Data Bakal Dibangun di Luar Angkasa

“Kalau kamu seorang teknisi listrik, tukang ledeng, atau tukang kayu, kita akan membutuhkan ratusan ribu orang seperti itu untuk membangun semua pabrik ini,” ujar Huang, dilansir dari Fortune.

Menurutnya, pembangunan data center bukan proyek jangka pendek, melainkan investasi berkelanjutan yang akan terus berkembang dari tahun ke tahun.

“Bidang keterampilan teknis di setiap ekonomi akan mengalami lonjakan besar. Jumlah tenaga terampil terus berlipat ganda setiap tahunnya,” imbuhnya.

Pernyataan tersebut disampaikan tak lama setelah Nvidia mengumumkan investasi sebesar US$100 miliar (sekitar Rp1.654 triliun) guna membangun infrastruktur pusat data yang didukung oleh chip AI.

Pekan lalu, perusahaan pembuat chip tersebut mengumumkan investasi sebesar US$100 miliar ke OpenAI untuk mendukung pembangunan pusat data yang menggunakan prosesor AI buatan Nvidia. Secara global, belanja modal untuk data center diperkirakan akan mencapai US$7 triliun pada tahun 2030, menurut laporan McKinsey.

Satu data center seluas 250.000 kaki persegi saja bisa mempekerjakan hingga 1.500 pekerja konstruksi selama proses pembangunan. Banyak di antaranya memperoleh pengasilan lebih dari US$100.000 atau sekitar Rp1,65 miliar per tahun tanpa memerlukan gelar sarjana.

Setelah selesai, sekitar 50 pekerja tetap akan mengelola fasilitas tersebut. Namun, setiap pekerjaan di pusat data dapat menciptakan sekitar 3,5 lapangan kerja tambahan di sektor ekonomi sekitarnya.

Dia melihat tren ini sebagai peluang baru bagi anak muda, terutama bagi generasi yang sedang mencari arah karier di tengah gelombang revolusi AI. Ia mengimbau generasi muda agar tidak terpaku pada pekerjaan kantoran atau bidang pemrograman yang berisiko digantikan oleh otomatisasi.

“Kalau saya berusia 20 tahun lagi, mungkin saya akan memilih bidang ilmu fisik atau physical sciences ketimbang ilmu perangkat lunak,” ujarnya.

Yang dimaksud dengan ilmu fisik di sini mencakup teknik elektro, teknik mesin, fisika terapan, serta berbagai keterampilan teknis lain yang berperan dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur AI.

Pandangannya semakin diterima oleh para eksekutif lainnya, meskipun data terbaru dari Yale Budget Lab menunjukkan bahwa AI belum secara signifikan mengganggu pasar kerja. Namun, jika Huang benar, dekade berikutnya dapat membentuk kembali keterampilan mana yang membutuhkan gaji premium.

Para CEO sepakat, era pekerja kantoran mulai bergeser, saatnya bagi pekerja lapangan untuk bersinar. Huang bukan satu-satunya pimpinan perusahaan yang memperingatkan kekurangan tenaga terampil yang akan datang.

CEO BlackRock Larry Fink memperingatkan, AS berpotensi mengalami kekurangan teknisi listrik untuk memenuhi kebutuhan pembangunan data center AI.

“Saya bahkan telah mengatakan kepada beberapa anggota tim Trump bahwa kita akan kehabisan teknisi listrik yang dibutuhkan untuk membangun data center AI,” ujar Fink dalam sebuah konferensi energi. “Kita memang tidak memiliki cukup tenaga.”

CEO Ford Jim Farley menyoroti ambisi pemerintah AS memindahkan rantai pasok manufaktur ke dalam negeri (reshoring). Ia menilai upaya tersebut sulit terlaksana tanpa tersedianya tenaga kerja yang memadai.

“Saya pikir niatnya sudah ada, tapi tidak ada dukungan nyata untuk mencapai ambisi itu,” kata Farley kepada Axios. “Bagaimana kita bisa membangun semua ini jika kita tidak memiliki cukup pekerja?”

Menurut unggahan Farley di LinkedIn pada bulan Juni, AS saat ini sudah kekurangan sekitar 600.000 pekerja pabrik dan 500.000 pekerja konstruksi.

Pemerintah AS juga mulai memperluas program pendidikan kejuruan sebagai langkah untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan tenaga kerja terampil.

Salah satunya adalah Jacob Palmer, pemuda berusia 23 tahun asal North Carolina. Setelah lulus SMA, ia memutuskan kuliah bukan jalan yang tepat baginya. Sebagai gantinya, ia mengikuti program magang di sebuah perusahaan kontraktor dan berlatih menjadi teknisi listrik.

Di usia 21 tahun, Palmer mendirikan bisnisnya sendiri, dan tahun lalu berhasil meraih pendapatan hampir US$90.000. Tahun ini saja, penghasilannya sudah menembus angka enam digit.

Berbeda dengan banyak teman sebayanya yang dibebani utang kuliah dan prospek kerja yang tidak pasti, ia dengan santai berkata, “Saya tidak berutang kepada siapa pun.”

Pekerjaan kantoran yang bersifat rutin semakin berisiko tergantikan, sementara pekerjaan lapangan yang terkait dengan pembangunan dan perawatan infrastruktur AI justru mengalami pertumbuhan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 09 Oct 2025 

Editor: Redaksi

Related Stories