ekonom konstitusi
Sabtu, 13 Agustus 2022 08:22 WIB
Penulis:Rohmat
Surplus bukan sesuatu hal yang positif disebabkan tidak terjadinya percepatan dalam pembelanjaan pembangunan sementara pendapatan negara dari sumber pajak mengalami peningkatan.
Diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada bulan Juli 2022 mengalami surplus sejumlah Rp106,1 Triliun.yangmana
Data dan informasi ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, pada Kamis 11 Agustus 2022.
Sebelumnya, pada bulan Juni 2022 APBN juga dalam posisi yang surplus sejumlah Rp 73,6 Triliun. Terdapat kenaikan surplus selama satu bulan sejumlah Rp32,5 Triliun atau sebesar 44,15 persen.
Dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2021 lalu yang defisit Rp336,9 Triliun atau sebesar 2,04 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka memang mencerminkan sesuatu yang positif di satu sisi.
Ibaratnya adalah seorang yang punya uang berlebih tapi tidak mampu membelanjakan barang/jasa yang dibutuhkan, padahal kebutuhan sehari-hari itu ada dan belum dicukupi.
Namun demikian, disisi yang lain surplus APBN tidak bisa dinilai sebagai sebuah prestasi sedangkan defisit jelas sebagai sesuatu yang buruk dalam mengelola keuangan negara.
Surplus pun bukan sesuatu hal yang positif disebabkan tidak terjadinya percepatan dalam pembelanjaan pembangunan sementara pendapatan negara dari sumber pajak mengalami peningkatan.
Kecepatan dalam pengeluaran pendapatan negara dalam mengakselerasi peningkatan konsumsi untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi tampak tidak terjadi selama Triwulan II Tahun 2022 (TW II/2022).
Dalam teori ekonomi makro surplus ini merupakan bentuk dari ketidakefektifan dan ketidakefisienan otoritas ekonomi dan moneter dalam melakukan akselerasi program-program pembangunan, apalagi ditambah dengan terjadinya pengendapan dana pada Pemerintah Daerah di bulan Juni 2022 sejumlah Rp220,95 Triliun.
Artinya, koordinasi perencanaan pembangunan dan pelaksanaan (eksekusi) anggaran dalam mendanai program pembangunan antar pemerintah pusat dan daerah mengalami permasalahan.
Jika, surplus ini tidak terlalu besar, maka kontribusi sektor konsumsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada TW II/2022 akan bisa lebih besar dari 5,44 persen, minimal bisa mencapai 5,7-5,9 persen dengan asumsi kontribusi sektor konsumsi sama dengan TW II/2021 yang sebesar 3,17 persen. (*)