Solah Tutur “Taru Pramana” Hadirkan Pertunjukan Pola Baru

Rabu, 03 Februari 2021 03:57 WIB

Penulis:E. Ariana

Solah tutur “Taru Pramana” persembahan Sanggar Dedari ISI Denpasar
Solah tutur “Taru Pramana” persembahan Sanggar Dedari ISI Denpasar

Denpasar, Balinesia.id – Bulan Bahasa Bali 2021 yang digelar dalam suasana pandemi Covid-19 menyulut kelahiran seni pertunjukkan dengan metode baru. Hal tersebut tampak dalam pagelaran solah tutur “Taru Pramana” yang disajikan Sanggar Dedari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di Taman Budaya Bali, Denpasar, Senin (1/2) malam.

Sebagai tuntutan pelaksanaan protokol kesehatan, seluruh seniman yang terlibat dalam pentas tersebut terlebih dahulu dites rapid antigen. Adapun garapan tersebut didukung oleh 51 penari dan 23 penabuh. 

Dari sisi penampilan, “Taru Pramana” ini juga menyajikan sajian seni dengan pola baru, yang tidak berorientasi pada sendratari murni ataupun oratorium yang biasa disajikan sebelumnya.

Garapan ini menyajikan sebuah pola pikir untuk mengkreasikan berbagai dimensi dan berbagai elemen, baik itu sastra, teater, tari, musik dan juga pemanfaatan media digital, seperti layar LED dengan penyediaan video dron dan lainnya. Bentuknya, dalam format sangat baru yang disebut sebagai solah tutur. Para penari tak hanya menonjolkan tari saja, tetapi ada juga yang berdialog langsung, ada pula didukung dalang yang harus diisi pada adegan bertentu, ada yang harus menyanyi, mekidung dan bermain music, sehingga ada berbagai elemen di dalamnya.

Penanggung jawab pertunjukan, Dr. I Komang Sudirga, S.Sn., M.Hum didampingi Ketua Panitia, I Gede Mawan, S.Sn., M.Si mengatakan garapan ini memang dibuat dalam format baru. “Jika sebelumnya ada musikalisasi puisi, oratorium, maka kali ini membuat dalam bentuk solah tutur yang diharapkan menjadi model ke depan,” katanya.

Garapan berdurasi sekitar satu jam itu mengangkat kisah yang bersumber dari Lontar Taru Pramana. Hal ini sengaja diangkat karena mengacu pada tema Bulan Bahasa Bali 2021 “Wana Kerthi: Sabdaning Taru Mahottama”.

Pertunjukkan itu pun mengandung sejumlah makna, di antaranya jangan “jumawa” atau sombong setelah merasa hebat. “Karena sebagai manusia semestinya selalu bersahabat dengan alam. Karena itu, garapan ini ingin menyampaikan bahwa, manusia hidup mesti selalu saling menyayangi dengan alam sebagai implementasi konsep Tri Hita Karana.,” katanya.

Secara vertikal, katanya, manusia harus bisa bersahabat dengan tumbuhan dan binatang. “Manusia tak bisa hidup tanpa adanya tumbuhan dan binatang. Oleh karean itu mari pelihara alam ini,” katanya. (jro)