Kesehatan
Senin, 11 November 2024 15:03 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA – Seperti yang kini sering dibicarakan di media sosial, tampaknya generasi muda termasuk generasi Z sedang menghadapi tantangan finansial yang semakin rumit. Tidak hanya soal mengelola keuangan, nyatanya generasi Z juga harus menghadapi masalah keuangan yang cukup unik.
Hal ini ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Mulai dari tingginya biaya hidup, utang, hingga pasar kerja yang terus berubah, pengelolaan keuangan bisa terasa membingungkan.
Sebenarnya dibandingkan dengan generasi lainnya, generasi ini sering disebut sebagai generasi yang memiliki kekuatan finansial yang cukup besar. Namun sayangnya, mereka cenderung boros dan konsumtif, yang membuat mereka rentan terjerat utang.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut alasan mengapa gen Z sering kesulitan mengelola uang. Yuk, simak!
Berikut beberapa alasan mengapa gen Z sering bokek:
Gen Z menghadapi tantangan keuangan yang unik di zaman modern ini, terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar. Biaya sewa, makanan, transportasi, dan layanan kesehatan terus meningkat, seringkali melampaui kenaikan upah.
Ketidakseimbangan ini menyulitkan gen Z untuk menabung atau berinvestasi, karena sebagian besar pendapatan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi ekonomi yang tidak stabil dan inflasi semakin mempersulit mereka dalam mengelola pengeluaran.
Utang pendidikan menjadi beban finansial yang besar. Dengan lonjakan biaya pendidikan dalam beberapa dekade terakhir, banyak lulusan yang menghadapi utang yang cukup besar, yang mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade untuk dilunasi. Utang ini memengaruhi kemampuan mereka untuk menabung, berinvestasi, atau bahkan membeli rumah.
Dengan banyaknya pilihan pinjaman online dan kartu kredit yang menggoda, generasi muda sering kali tidak menyadari konsekuensi dari keputusan keuangan yang mereka ambil. Survei terbaru mengungkapkan hampir 70% gen Z merasa tidak siap untuk mengelola utang setelah lulus sekolah.
Ini merupakan masalah yang serius, karena utang yang tidak terkelola dengan baik dapat merusak rencana keuangan jangka panjang, seperti pendanaan pendidikan keluarga, membeli rumah, atau menabung untuk pensiun.
Tingkat utang milenial dan gen Z dari pinjaman online terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), milenial dan gen Z menyumbang 37,17% dari total kredit bermasalah di pinjaman online.
Saat ini, banyak gen Z yang menganggur karena banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan kelompok ini. Bahkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 9,9 juta penduduk muda Indonesia termasuk dalam kategori pengangguran.
Ketidakstabilan pasar kerja mendorong banyak gen Z untuk mengambil pekerjaan paruh waktu. Bahkan, di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang luas, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami gen Z seringkali menimbulkan kebingungan dan kecemasan. Banyak di antara mereka yang baru saja merasakan tantangan dunia kerja harus menghadapi situasi sulit ini.
Bagi gen Z, PHK bukan hanya sekedar kehilangan pekerjaan, tapi juga hilangnya stabilitas, peluang untuk berkembang, dan kemampuan untuk mersih kemandirian finansial.
Gen Z cenderung lebih banyak terlibat dalam ekonomi gig dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak dari mereka bekerja sebagai pekerja lepas atau kontrak, yang berarti tidak memiliki gaji tetap atau tunjangan seperti asuransi kesehatan atau tabungan pensiun. Pendapatan yang tidak menentu ini bisa membuat perencanaan keuangan menjadi lebih sulit.
Hidup penuh dengan kejutan tidak selalu menguntungkan, seperti kerusakan mobil, perbaikan rumah, atau kebutuhan medis yang mendadak. Kondisi ini sering kali membuat keuangan gen Z berada dalam keadaan darurat, terutama jika tidak memiliki dana darurat.
Beberapa gen Z tidak menerima pendidikan keuangan yang cukup saat mereka tumbuh dewasa. Sekolah seringkali tidak memprioritaskan pengajaran tentang keuangan pribadi, sehingga para pemuda kurang siap menghadapi tanggung jawab keuangan di dunia nyata. Sebagai akibatnya, mereka mungkin kesulitan dalam menyusun anggaran, memahami investasi, atau mengelola utang.
Dalam survei yang dilakukan BPS, indeks literasi keuangan untuk kelompok usia 15-17 tahun secara keseluruhan hanya mencapai 51,70%, dengan 51,50% untuk konvensional dan 25,54% untuk syariah. Sementara itu, indeks inklusi keuangannya secara keseluruhan adalah 57,96%, dengan 57,16% untuk konvensional dan 6,61% untuk syariah.
Untuk kelompok usia 18 hingga 25 tahun, tingkat literasi dan inklusi keuangannya termasuk dalam kategori menengah, dengan indeks literasi keuangan sebesar 70,19% dan inklusi keuangan sebesar 79,21%. Meski gen Z paham tentang digitalisasi, mereka masih kurang memiliki pengetahuan mengenai keuangan.
Karena kedekatannya dengan teknologi, membuat kecenderungan konsumtif gen Z lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka sangat mudah terpengaruh dan cenderung mengikuti tren yang sedang berkembang.
Platform media sosial seperti Instagram dan TikTok meningkatkan tekanan untuk menjalani gaya hidup yang mungkin tidak sejalan dengan kondisi keuangan. Mulai dari liburan mewah hingga tren mode terkini, dapat mendorong pengeluaran berlebihan ketika mereka berusaha mengikuti gaya hidup teman-teman mereka.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 10 Nov 2024