Seri I Widyatula Bulan Bahasa Bali 2021 Angkat Topik "Kalimosada: Usadha Bali pinaka Panepas Pangradban Kaliyuga”

Sabtu, 06 Februari 2021 15:01 WIB

Penulis:E. Ariana

Widyatula atau seminar "Kalimosada: Usadha Bali pinaka Panepas Pangradban Kaliyuga” serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021
Widyatula atau seminar "Kalimosada: Usadha Bali pinaka Panepas Pangradban Kaliyuga” serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021

Denpasar, Balinesia.id – Tiga akademisi dari tiga universitas di Bali menjadi narasumber utama dalam widyatula atau seminar serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 seri pertama mengangkat topik “Kalimosada: Usadha Bali pinaka Panepas Pangradban Kaliyuga” yang digelar secara daring, Jumat (5/2/2021).

Mereka adalah Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. (Prodi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana), Dr. Drs. Ida Bagus Suatama, M.Si. (Prodi Ayur Weda Universitas Hindu Indonesia), dan I Ketut Sandika, S.Pd.H., M. Fil. H. (UHN IGB Sugriwa).

Ketut Jirnaya, seorang akademisi dari Desa Les, Tejakula, Buleleng menjelaskan salah satu teks yang menjadi rujukan praktik usadha atau pengobatan tradisional di Bali. Teks itu berjudul Budha Kecapi. Menurutnya, teks ini secara komprehensif menjelaskan tatanan menjadi seorang praktisi pengobatan usadha, mulai dari tahap diagnosa penyakit, tata cara pengobatan, bahkan hingga kode etik seorang pengobat.

“Budha Kecapi memberikan penjelasan tentang hakikat pengobatan usadha, mulai dari proses diagnosa hingga pengotan. Juga tentang disiplin seorang balian atau dukun usadha,” katanya dipantau secara daring dari Denpasar.

Penyakit menurut teks ini disebabkan oleh berbagai sumber, baik eksternal maupun internal manusia, maupun yang bersifat fisik maupun rohani. Untuk mengobatinya, berbagai cara pun dapat dilakukan, yang idealnya disesuaikan dengan jenis penyakitnya.

Menariknya, ia menyebut bahwa ada penyakit-penyakit tertentu yang memang tidak bisa diobati, apabila penyakit itu memang akan menjadi jalan pasien meninggal dunia. “Jadi, seorang balian itu tahu mana penyakit yang bisa disembuhkan dan mana yang tidak bisa karena sudah suratan takdir pasien. Seorang balian juga tidak boleh menentukan tarif, justru jika pasien memberi 10 ribu, patut hanya diambil 7 ribu, kalau diberi 7 ribu hanya boleh diambil 2 ribu, jika 1700, hanya diambil 500,” terangnya.

Selanjutnya, IB Suatama dalam makalahnya yang berjudul “Mahosadha Taru Lata Taman Tamba Kulawarga”, menjelaskan berbagai jenis tanamanyang bisa digunakan untuk pengobatan usadha. Ia mengatakan pada dasarnya ada enam kelompok tanaman yang melipui banaspati, wriksa, trena, gulma, kelompok prabu,patih, arya, demung,dan tumenggung, serta kelompok taru lata.

Banaspati adalah jenis kayu besar, namun tidak berbunga, seperti beringin dan ara. Wriksa adalah kayu besar yang berbunga, seperti kemiri, durian, dan cempaka. Trena adalah jenis rerumputan, sedangkan gulma adalah semak belukar.

“Kelompok kayu prabu, patih, arya, demung, tumenggung , dan lainnya menurut pembagian kayu dalam Aji Janantaka, sedangkan lata adalah jenis tanaman yang merambat atau melata, seperti sirih,” katanya diskusi yang dipandu IK Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur).

Terkait dengan keberadaan kayu, ia melihat saat ini hutan-hutan sudah tidak lagi lestari. Hal itu yang kemudian menyebabkan terjadi ketidakharmonisan alam, seperti terjadinya bencana alam dan juga penyakit.

Dalam lingkup keluarga, pekarangan rumah saat ini juga banyak yang beralih fungsi. Masyarakat lebih suka menanam jenis tanaman hias, dibanding tanaman obat yang dapat memberi manfaat.

Terakhir, Sandika dalam makalahnya yang berjudul “Kaweruhan Tattwa Aksara Kalimosaddha-Kalimosaddhi “ lebih banyak menjelaskan aspek filsafat dari pelaksanaan usadha di Bali. Ia mengatakan bahwa berbagai ilmu pengetahuan yang termuat dalam sejumlah teks usadha pada dasarnya terkait dengan filsafat ketuhanan yang disimbolkan dalam aksara-aksara suci ala Bali.

“Dalam Kalimosaddha-Kalimosaddhi, kita sejatinya diajak untuk mengetahui hakikat filsafat yang menjadi dasar mempraktikkan sastra-sastra tersebut,” katanya.

Filsafat tersebut, lanjutnya, dapat digunakan sebagai sarana untuk menghindarkan diri dari berbagai bentuk penyakit dan wabah. “Pengetahuan inilah yang hendaknya digunakan untuk menghadapi kondisi zaman pada masa Kaliyuga ini,” ucapnya. (jro)