Jumat, 06 November 2020 13:40 WIB
Penulis:Bambang Susilo
BANGLI – Tradisi ari-ari atau plasenta magantung di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bangli menjadi salah satu warisan budaya tak benda atau WBTB Bali yang ditetapkan sebagai WBTB Indonesia pada awal Oktober 2020 lalu.
Tradisi unik yang telah diwarisi secara turun-temurun ini ternyata menyimpan banyak mitos bagi masyarakat Bayung Gede, salah satunya mempererat hubungan persaudaraan antar bayi pemilik plasenta saat dewasa kelak. Oleh karena itulah, masyarakat setempat cenderung akan menggantung plasenta yang telah dikemas dengan batok kelapa sedemikian rupa secara bergerombol di cabang pohon bukak yang tumbuh di setra tersebut.
Bendesa Adat Bayung Gede, I Ketut Sukarta, menjelaskan, masyarakat Desa Adat Bayung Gede meyakini bahwa apapun sikap yang ditunjukkan oleh seorang ayah saat menggantung plasenta akan menurun sebagai sikap anaknya kelak.
Ketika plasenta digantung menggunakan tangan kiri, sang anak diyakini akan tumbuh menjadi seorang yang kidal. Sementara, jika ditaruh jauh dari plasenta lainnya, bayi pemilik plasenta itu diyakini akan tumbuh menjadi anak yang sulit bergaul, bahkan cenderung individualis.
“Saat menggantung ari-ari harus diletakkan di cabang pohon bukak dengan tangan kanan. Kalau dengan tangan kiri, diyakini sang anak bisa kidal. Biasanya juga diletakkan bergerombol agar lebih persaudaraannya dengan anak-anak yang lain bisa lebih rekat,” katanya Kamis (5/11/2020).
Plasenta yang digantung, katanya, terlebih dahulu harus dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam batok kelapa. Dalam batok kelapa, plasenta tersebut akan ditempatkan bersama sekam, berbagai rempah atau anget-anget, tengeh atau ramuan yang dibuat dari kapur dan air jeruk limau, ngad atau pisau dari bambu, dan sepit atau penjepit dari bambu.
Batok kelapa kemudian akan ditutup dan diolesi kapur dengan bentuk tapak dara atau simbol berbentuk tambah. Batok kelapa itu selanjutnya diikat dengan tali bambu bersimpul salang tabu.
“Saat sampai di setra, batang pohon bukak harus terpotong sekali tebas, kemudian dengan tali itulah ia digantung. Tali ini bisa bertahan sampai dua tahun. Kalau sudah jatuh, di dalamnya sudah tidak ada apa, seolah-olah tidak berbekas,” katanya.
Meski berupa daging, Sukarta mengatakan bahwa plasenta yang digantung tidak pernah mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bahkan, binatang-binatang pun tidak akan berani mengganggu plasenta-plasenta yang digantung.
“Sampai sekarang belum pernah ditemukan kejadian seperti itu. Tidak ada anjing atau binatang lain yang berani mengusik, apalagi masyarakat di sini. Batok-batok kelapa itu akan tetap tergantung sedemikian rupa sampai talinya putus atau batoknya hancur. Saat itu, ari-ari bayi biasanya sudah hilang,” tuturnya.
“Mungkin karena ditutup rapat oleh batok kelapa dan adanya berbagai benda yang dimasukkan bersama ari-ari itu sehingga tak berbau. Tapi tetap saja, bagi kami itulah nilai magisnya,” tambahnya.