Jumat, 18 September 2020 06:43 WIB
Penulis:Bambang Susilo
DENPASAR - Meski berjalan dengan batasan Protokol Kesehatan (Prokes) Covid-19, pelaksanaan Galungan, Rabu (16/09/2020) tetap dimaknai istimewa oleh umat Hindu di Bali. Dengan berbagai batasan itu, sejumlah masyarakat justru memandang Galungan kali ini sebagai momentum nyliksik bulu atau introspeksi diri.
"Galungan kali ini memang tak dapat dipungkiri berkesan beda. Tapi, baiknya kita dapat lebih menghargai waktu kebersamaan dengankeluarga. Pesannya mungkin pengekangan diri agar bisa menjadi pemenang sejati, saling menjaga dan melindungi sati sama lain dari pandemi Covid-19," kata Gde Wikan Pradnya Dana, pemuda asal Denpasar.
Ia yang saat ini merupakan Ketua Aliansi Pemuda Hindu Bali (APHB) Denpasar, menuturkan suasana Galungan di tempat tinggalnya, Desa Pohgading, Denpasar, mulai terasa berbeda sejak Penampahan Galungan, Selasa (15/09/2020). Biasanya, Panampahan diisi dengan sembahyang bersama antar masyarakat. Namun, kali ini hanya dilakukan oleh sejumlah prajuru.
"Di Banjar Binoh Kaja, Panampahan Galungan kemarin hanya dilaksanakan oleh Prajuru dan Kasinoman Banjar. Selesai upacara yadnya, tirta diantarkan oleh kasinoman ke masing-masing ke rumah warga. Otomatis ini mengurangi rasa kebersamaan," katanya.
Terlepas dari segala "cita rasa" berhari raya yang berubah, pihaknya menilai langkah tersebut sebagai langkah yang tepat. "Saya kira semua yang berbentuk di dunia akan berubah, yang penting adalah tidak mengubah makna dari kondisi tersebut. Galungan hari kemenangan, kita harus menang melawan pandemi," tambahnya.
Suasana serupa turut dirasakan warga Desa Adat Kedonganan, Badung. Panyarikan Banjar Pangenderan, Desa Adat Kedonganan, drh. Wayan Yustisia Semarariana, mengatakan paruman banjar yang biasanya digelar dengan melibatkan seluruh krama, kini dibagi dalam tempekan-tempekan. Paruman-paruman virtual juga diambil sebagai pilihan untuk mengambil sebuah keputusan.
"Perubahan yang paling terlihat saat Panampahan Galungan, sudah lama kami punya program mapatung daging babi dan bahan pokok. Karena harus mengikuti prokes, senda gurau yang biasanya muncul di tengah masyarakat tak terlihat," katanya.
Selain itu, persembahyangan bersama yang setiap enam bulan dilaksanakan juga tidak dapat dilakukan. Masyarakat di sana sembahyang secara mandiri bergiliran, berjarak, dan setelahnya langsung pulang. "Sebagai prajuru banjar saya memaknai Galungan kali ini sebagai masa agar kita lebih menghargai tatuek-tatuek (nasihat-nasihat) atau inti daripada upacara upacara yang dilakukan. Ternyata bukan besar kecil upacara, tapi rasa yang muncul setelah melaksankan upacara," akunya.