Populasi Makin Menyusut, Jepang Kini Hadapi Masa Depan Tanpa Generasi Baru

Jumat, 20 Juni 2025 17:00 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:Redaksi

Populasi Makin Menyusut, Jepang Kini Hadapi Masa Depan Tanpa Generasi Baru
Populasi Makin Menyusut, Jepang Kini Hadapi Masa Depan Tanpa Generasi Baru (Kyodo News)

TOKYO - Jepang saat ini dihadapkan pada krisis demografi yang kian parah. Jumlah penduduk terus menurun, angka kelahiran menyentuh titik terendah sejak tahun 1899, dan banyak anak muda memilih untuk tidak menikah atau membangun keluarga.

Fenomena ini mencerminkan persoalan yang lebih dalam, dari tekanan ekonomi, pergeseran nilai-nilai sosial, hingga kebijakan yang belum mampu mengatasi tantangan tersebut secara efektif.

Realitas ekonomi menjadi penghalang utama. Biaya hidup yang tinggi, mulai dari harga rumah, persalinan (mencapai Rp50–100 juta tanpa asuransi), hingga pendidikan anak, mendorong banyak anak muda mempertanyakan apakah mereka mampu berkeluarga. 

Lebih dari 64% masyarakat Jepang menyebut biaya pengasuhan sebagai alasan utama menunda atau menolak punya anak.

Bentuk pekerjaan juga berubah drastis, banyak generasi muda bekerja sebagai pekerja tidak tetap (non-regular workers) dengan gaji minim dan tanpa jaminan karier. Takashi Kadokura, seorang ekonom Jepang, menegaskan bahwa ketidakstabilan kerja ini menggerus insentif untuk menikah dan memiliki anak.

"Alasan utama peningkatan jumlah rumah tangga satu orang adalah meningkatnya jumlah individu yang tidak menikah, yang banyak di antaranya adalah karyawan non-tetap yang merasa kesulitan untuk menghidupi keluarga secara ekonomi," ujar Takashi Kadokura, dilansir Xinhua, Kamis, 19 Juni 2025.

Ketimpangan gender memperparah situasi. Perempuan Jepang kerap dihadapkan pada dilema antara karier atau keluarga. Budaya kerja yang kaku, minimnya fleksibilitas, dan sulitnya kembali bekerja pasca-melahirkan membuat banyak perempuan memilih hidup mandiri tanpa beban rumah tangga.

Pergeseran Nilai Sosial dan Identitas Diri

Lebih dari sekadar angka, penurunan pernikahan mencerminkan perubahan dalam nilai dan gaya hidup. Survei pemerintah pada 2022 menunjukkan lebih dari seperempat pria dan perempuan usia 30-an menyatakan tidak ingin menikah. Kebebasan pribadi, fokus pada karier dan hobi, serta keengganan terhadap peran tradisional menjadi alasan utama.

Keterampilan sosial generasi muda juga menurun. Meningkatnya minat terhadap dunia virtual seperti anime dan manga mengurangi interaksi sosial nyata. Pola asuh anak tunggal, yang kini lazim di Jepang, juga memperparah isolasi sosial ini.

Pernikahan pun tak lagi dipandang sebagai “keharusan hidup.” Hanya 7% pria muda yang berharap pasangannya menjadi ibu rumah tangga penuh, mencerminkan pergeseran peran gender yang makin egaliter namun juga penuh tantangan baru.

Banyak anak muda Jepang bahkan tidak punya kesempatan bertemu pasangan. Sekitar 43,3% pria dan 48,1% wanita usia 25–34 tahun mengaku kesulitan menemukan calon pasangan. Pemerintah mencoba merespons dengan berbagai aplikasi kencan dan program perjodohan lokal. Namun, solusi ini dinilai terlalu dangkal dan tidak menyentuh akar masalah: ekonomi yang timpang dan beban kerja yang berat.

Sebagian masyarakat menyambut baik kebijakan subsidi daycare dan bantuan anak, namun 73% menilai implementasinya masih lambat dan jangkauannya terbatas. Kenaikan pajak untuk mendanai program pronatalis juga mendapat penolakan luas.

Budaya kerja di Jepang yang terkenal “toksik”, jam kerja panjang dan tekanan tinggi menyulitkan keseimbangan hidup dan kerja, terutama bagi pasangan yang sama-sama bekerja.

Krisis ini berdampak luas. Populasi Jepang kini hanya 120,3 juta jiwa, dengan jumlah kelahiran hanya 720.988 bayi pada 2024, sementara angka kematian mencapai 1,6 juta. Diprediksi, populasi akan anjlok hingga 87 juta jiwa pada 2070, dengan 40% penduduk berusia di atas 65 tahun. Ini mengancam sistem pensiun, layanan kesehatan, dan stabilitas ekonomi nasional.

Penyusutan tenaga kerja juga mulai terasa. Jepang diprediksi kehilangan posisi sebagai ekonomi terbesar ketiga dunia pada 2025, mengingat konsumsi domestik yang lesu dan produktivitas yang tertekan.

Berbagai solusi mulai diusulkan, reformasi pasar kerja, peningkatan upah dan keamanan kerja, serta fleksibilitas jam kerja agar keluarga bisa menyeimbangkan kehidupan rumah dan karier. Perluasan dukungan bagi perempuan untuk kembali bekerja pasca-melahirkan, dan pembagian peran domestik yang adil, menjadi kunci utama.

Jika tren ini terus berlanjut, para peneliti memprediksi populasi anak di Jepang akan menyusut total pada tahun 2720. Pemerintah Jepang telah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan dukungan terhadap keluarga. Namun, tanpa perubahan sistemik yang menyasar akar permasalahan dari ekonomi, struktur kerja, hingga norma sosial krisis demografi ini berisiko menjadi titik balik suram bagi masa depan Jepang.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 19 Jun 2025