sri mulyani
Rabu, 01 Februari 2023 07:21 WIB
Penulis:Rohmat
Editor:Rohmat
Permasalahan pengeluaran dana besar yang diutarakan oleh Direktur Utama Pertamina Patra Niaga (Dirut PPN) terkait imbas implementasi program B35 adalah masuk akal atau rasional.
PPN yang merupakan anak perusahaan atau sub holding dari Holding BUMN Migas PT. Pertamina mengklaim mengeluarkan dana tambahan sejumlah Rp110 untuk setiap liter B35.
Pembengkakan biaya ini baru terjadi pada program B35 dan disampaikan oleh Dirut PPN Alfian Nasution dalam acara Energy Corner Special B35 Implementation di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 31 Januari 2023. Artinya, terdapat tambahan biaya per liter sekitar Rp110 untuk mempersiapkan B35 dengan baik, menggunakan konsep yang aman dan tingkat pengendalian kualitas (quality control) yang tinggi.
Perlu diketahui oleh masyarakat atau publik dan masyarakat konsumen secara khusus, bahwa Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memang sedang melancarkan program Bioenergi melalui produk biodiesel sebagai langkah antisipasi lonjakan harga minyak dunia serta menekan impor solar.
Selain itu, program tersebut juga disasarkan untuk meningkatkan capaian pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBET). Salah satu program diawal, yaitu Solar B30 (Biodisel 30) yang merupakan campuran 30% fatty acid methyl ester (FAME) dan 70% solar yang telah berjalan sejak tahun 2016.
*B30, B35 Mirip Power Wheeling?*
Apakah itu produk FAME? Tidak lain adalah produk olahan yang berasal dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Minyak FAME berasal dari minyak nabati mentah yang kaya akan fatty acid (asam lemak) dengan kadar 61-62% dan saat ini digunakan sebagai bahan campuran biodiesel. FAME adalah bahan turunan dari CPO (crude palm oil) yang telah melalui proses pengolahan secara fisika dan kimia.
Jenis Biosolar-35/B35 sendiri merupakan campuran bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit sejumlah 35 persen berbentuk FAME dan 65 persen lainnya merupakan BBM jenis solar yang implementasinya akan efektif pada tanggal 1 Februari 2023.
Kebijakannya diatur melaui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.
Tujuan dari kebijakan EBET melalui program Biodiesel jenis Biosolar-30 ini, adalah memenuhi sasaran (target) 23% kontribusi EBET dalam total energi campuran (mix energy) pada tahun 2025. Program bioenergo ini dijalankan dengan mencampurkan bahan nabati (tumbuh-tumbuhan) dengan bahan fosil, salah satunya melalui peningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit (bisa juga dengan komoditas lain) ini.
Namun demikian, sebagaimana yang diungkapkan Dirut PPN, pada program B30 tidak ada kesulitan berarti dihadapi dalam mempersiapkannya.
Sementara, pada program B35, terdapat batas kemampuan injeksi di terminal otomatis (automation terminal) PPN yang harus ditingkatkan (upgrade) total proses pencampuradukannya di dalam pabrik.
Dengan infrastruktur yang tersedia saat ini, maka pembengkakan biaya tentu disebabkan oleh tidak bersesuaiannya (compatible) infrastruktur mulai dari proses masukan berasal dari hulu, yaitu CPO untuk mendukung implementasi B35 ini.
Salah satu yang disebutkan oleh Dirut PPN, yaitu sistem pencampuradukannya (blending system) melalui pipa yang diklaim paling aman dan terbaik sehingga kemungkinan B35 tercampur air sangat minim.
Meskipun manajemen subholding PPN melalui Dirut Alfian Nasution menegaskan bahwa secara korporasi tetap berkomitmen dalam program B35 dengan mempersiapkan pembangunan tangki berkapasitas 50 ribu KL fatty acid methyl esters (FAME) baru.
Lalu, apakah Bahan Bakar Minyak Biosolar (BBM-Bio) jenis B35 yang akan resmi beredar ke masyarakat konsumen nanti di pasaran bukan merupakan bio solar bersubsidi? Sebab, saat ini, harga BBM solar subsidi adalah Rp6.800 per liter dan jenis B35 terdapat biaya tambahannya.
Jika bukan biosolar bersubsidi, maka perkiraan harganya akan mencapai Rp10.000 lebih. Pertanyaannya, apakah akan dibebankan ke konsumen atau juga akan disubsidi pemerintah? Pada posisi inilah peran dan dukungan strategis pemerintah melalu Direktorat Jenderal EBTKE sangat dibutuhkan agar tidak ditempatkan pada posisi yang pro korporasi swasta minyak sawit!
Oleh karena itu, posisi pemerintah dalam kebijakan EBET ini merupakan otoritas yang memberikan penugasan (mandatory) kepada BUMN harus mempersiapkan alokasi anggaran yang memadai.
Tidak berbeda dengan apa yang terjadi dengan penggunanaan jaringan PLN yang akan dipakai oleh perusahaan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP), maka B35 juga akan memberatkan posisi struktur biaya pokok produksi (HPP) BUMN yang ditugaskan. Sedangkan, pihak swasta yang menumpang seperti benalu ditumbuh-tumbuhan menikmati hasil dihulunya (sebagai pemilik pembangkit serta pemilik kebun sawit dan CPO) sebagai keuntungan orang per orang atau sekelompok orang/korporasi swasta di satu sisi.
Disisi yang lain, hilirnya justru merugikan Badan Usaha Milik Negara sebagai entitas ekonomi untuk mewujudkan kemakmuran bersama. (*)
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alummmus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta