Pasca Pandemi, Orang Bali Harus Ubah Cara Pandang terhadap Pariwisata

Minggu, 18 Oktober 2020 15:54 WIB

Penulis:Bambang Susilo

DENPASAR - Pandemi Covid-19 membuat pariwisata Bali yang rapuh benar-benar runtuh. Ekonomi Bali karut-marut, sebab selama ini Bali terlampau "memijakkan" kedua kakinya pada sektor pariwisata. Sementara, sektor lain seakan diposisikan hanya menjadi "pemanis".

Terkait dengam hal tersebut, inisiator Bali Spirit, Kadek Gunarta, mengharap pandemi ini dapat menjadi ruang bagi masyarakat Bali untuk mengubah cara pandang. Pasca pandemi, pariwisata paling tidak harus mampu memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, lingkungan, dan spiritual yang lekat dengan Bali.

"Dalam konteks yang luas, pariwisata harus memberikan jaminan kepada masyarakat pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya," katanya dalam dalam Focus Group Discussion (FGD) "Kebangkitan Bali dari Inspirasi Lokal" yang digelar Warmadewa Research Centre (WaRC) akhir pekan lalu.

Ia mengamati, dalam setiap krisis yang melanda Bali pariwisata selalu menemukan karakternya sendiri. Pasca Bom Bali 2002 dan 2005 misalnya, wisatawan mulai takut akan keramaian dan mulai beralih kepada wisata lingkungan, religi, dan menikmati lingkungan dan budaya.

"Pariwisata Bali yang berkembang alpa untuk melihat harga ekonomi dan social budaya yang harus ditanggung masyarakat Bali," terangnya.

Sejalan dengan hal tersebut, inisiator Nusa Penida Farm, Wayan Sukadana, mengamati bahwa cara pandang orang Bali terhadap pariwisata sebagai satu-satunya sumber hidup dapat berakibat sangat fatal. Misalnya, ketika pandemi Covid-19 merebak, pariwisata berhenti secara tiba-tiba yang pada akhirnya memicu krisis sosial dan ekonomi karena sangat dipengaruhi sektor pariwisata itu.

"Pariwisata terlalu industri, sehingga mengabaikan tata ruang wilayah, sektor alternatif lain, dan lingkungan secara umum,” kata Wayan Sukadana.

Meski demikian, di sisi lainnya, krisis yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 memberikan situasi turning point yang memampukan kelompok masyarakat bahu-membahu membantu masyarakat lainnya untuk dapat mandiri dan resilient hingga menjadi basis ketahanan masyarakat.

Sementara itu, Pegiat Petani Muda Keren, I Nengah Sumerta, mrnilai kesadaran orang Bali saat ini memang masih menjadikan pariwisata sebagai segala-galanya. Ini menyebabkan seluruh elemen masyarakat melupakan bahwa banyak sector-sektor lain yang harus digarap sebagai daya dukung pariwisata.

“Jadikan pariwisata hanya bonus sajalah, jangan utama. Jadi Ketika pariwisata krisis kita tidak lumpuh karena masih ada pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang kita jadikan pendukung pariwisata,” katanya.

Pemandu diskusi yang juga peneliti di WaRC, I Ngurah Suryawan menyatakan, diskusi yang digelar pihaknya berangkat dari fenomena solidaritas sosial dan kembalinya masyarakat ke sektor pertanian pada masa pandemi Covid-19. Aksi solidaritas sosial ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu aksi karikatif (charity) dan aksi pemberdayaan (empowerment). "Aksi ini muncul atas rasa persamaan pandangan bahwa Covid-19 bukan sekadar persoalan individu melainkan persoalan bersama yang harus diatasi bersama," terangnya.

Dalam diskusi yang berlangsung daring itu, WaRC menghadirkan enam pembicara yang berasal dari kalangan praktisi dan pengamat pertanian, lingkungan, dan sosial. Mereka adalah Wayan Sukadana (Founder Nusa Penida Farm), Kholik Mawardi (Solidaritas Pangan Bali), Kadek Gunarta (Founder Balispirit Festival dan Yoga Barn Ubud), Dwitra J. Ariana (Petani & Pembuat Film), I Nengah Sumerta (Forum Petani Muda Bali), dan Catur Yuda Hariyani (PPLH Bali).