Mitos Melemah Jadi Faktor Kerusakan Hutan

Selasa, 02 Februari 2021 04:14 WIB

Penulis:E. Ariana

Webinar Talkshow “Mayasa Kerthi: Maguru ring Wana” Prodi Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali (SAPBB) STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Webinar Talkshow “Mayasa Kerthi: Maguru ring Wana” Prodi Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali (SAPBB) STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Buleleng, Balinesia.id – Prodi Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali (SAPBB) STAHN Mpu Kuturan Singaraja menggelar Webinar Talkshow bertajuk “Mayasa Kerthi: Maguru ring Wana”. Kegiatan yang digelar serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 mengetengahkan tema yang sejalan dengan tema besar Bulan Bahasa Bali 2021 “Wana Kerthi: Sabdaning Taru Mahottama”.

Wakil Ketua I STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dr. I Made Sedana, M.Pd., yang membuka webinar tersebut berharap apa yang digelar Prodi SAPBB STAHN Mpu Kuturan berharap ide-ide yang muncul dalam diskusi tersebut dapat direspons oleh peserta yang hadir. "Saya mewakili lembaga berharap hasil kegiatan ini menjadi sebuah rumusan ide untuk gerakan pelestarian," kata I Made Sedana, Senin (1/2).

Pada kesempatan tersebut, ia pun mengajak seluruh peserta yang hadir dari kalangan mahasiswa, dosen, umum, pemerhati lingkungan, penyuluh bahasa Bali untuk bersama-sama bersinergi dalam menjaga lingkungan. Keberadaan ekosistem yang terjaga akan melahirkan lingkungan yang sehat pula.

Diskusi dipandu langsung oleh Kaprodi SAPBB STAHN Mpu Kuturan, Made Susila Putra, M.Pd., dengan narasumber I Ketut Eriadi Ariana, S.S. (Jero Penyarikan Duuran Batur), seorang penekun sastra tradisional yang menekankan perhatiannya ke ekologi.

Saat ini, alumni Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini menilai bahwa keberadaan hutan, khususnya di Bali mengalami berbagai macam ancaman. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tradisi masyarakat Bali yang sejatinya selalu berupaya berlaku harmonis dengan alam.

“Bali memiliki pola konservasi lingkungan yang berbasis pada keyakinan pada mitos tertentu sebagai pelindung lingkungan. Mitos inilah yang kini melemah, sehingga terjadi alih fungsi hutan, orang-orang tidak memiliki rasa takut lagi jika masuk dan mengeksploitasi hutan,” katanya.

Sebagai contoh, teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, merekomendasikan upaya-upaya yang hendaknya ditempuh oleh masyarakat Bali dalam mengelola dan melindungi Sad Kreti dengan pelaksanaan caru. Tradisi menggelar caru kini tampak semakin terkikis dalam hal pemaknaan, sehingga makna inti terkait pemaknaan hutan tidak sampai.

“Perlu kemudian melakukan demitologisasi, di mana mitos-mitos itu diterjemahkan kembali dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. Bukan mengganti, tapi mentransformasikan mitos tersebut,” ucapnya.

Ia mencontohkan, selama ini masyarakat Bali mewarisi mitos tentang relasi air Danau Batur dan Pegunungan Kintamani melalui mitos I Ratu Ayu Mas Membah. Mitos ini ternyata bisa dibaca dan diterjemahkan ke sains modern.

“Ada kemudian penelitian secara geologis yang menyatakan bahwa air-air yang diserap dari pegunungan Kintamani itu akan muncul dalam radius kurang-lebih 8 km dari bibir kaldera. Itu yang menyebabkan kawasan hilir Batur berlimpah air dan melahirkan praktik solidaritas pangan bernama Pasihan Batur,” jelasnya.

Pada sisi lain, ia memandang bahwa segala ritus yang hidup di Bali juga menjadi salah satu alat kontrol lingkungan. Upacara Ekadasarudra misalnya, dipandang sebagai alat kontrol lingkungan Bali dalam putaran 100 tahun sekali. “Upacara itu mengajak kita untuk mengecek keberadaan lingkungan. Jika salah satu hewan atau tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sarana upacara sudah tidak didapat, artinya lingkungan hidup sudah tidak stabil. Jadi, persoalannya bukan semata-mata sarana caru bisa dipenuhi, meski mendatangkan dari daerah lain,” katanya.

Ke depan, penulis buku “Ekologisme Batur” ini juga berharap kesadaran menjaga lingkungan semakin tumbuh. Gerakan menanam hendaknya dapat dimasyarakatkan. Sekecil apa pun gerakan tersebut akan membantu bumi ini tetap hijau. (rls/jro)