Petani
Minggu, 17 Maret 2024 10:45 WIB
Penulis:Rohmat
Terdapat beberapa pertanyaan kunci dan kritis (key and critical question) dari publik soal arah, sasaran dan tujuan pembangunan nasional kaitannya dengan perencanaan dan anggaran yang telah disusun serta disediakan secara periodik oleh suatu pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca reformasi 1998. Pertanyaan itu, adalah apakah perencanaan pembangunan ekonomi telah menggambarkan suatu program dari serangkaian kebijakan, atau kegiatan yang berupaya membangun kapasitas untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang mandiri?
Sebab, perencanaan pembangunan ekonomi nasional, daerah (regional) dan sektoral adalah upaya untuk mendayagunakan sumber daya publik yang tersedia disuatu negara atau wilayah secara optimal agar memiliki nilai tambah/lebih dari sebelumnya melalui perbaikan kapasitas sumber daya manusia dan alam (SDM dan SDA) secara bertanggung jawab.
Untuk itulah, perlu disusun sebuah Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mendukung koordinasi antarpelaku dan pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan. Sistem ini juga harus menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
Yang terpenting juga, adalah menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran pelaksanaan, dan pengawasan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dan, tentu saja menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Koordinasi dan Supervisi
Dalam perspektif ini, pemerintahan yang terpilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) harus merujuk pada Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU 25/2004 SPPN) yang meliputi: 1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang merupakan dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun, baik untuk nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota. 2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun, baik untuk nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota. Dan, 3) Rencana Pembangunan Tahunan Nasional yang merupakan dokumen perencanaan tahunan, baik untuk nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota.
Pasca reformasi terjadi perubahan kewenangan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional yang selama lebih dari 32 (tiga puluh dua tahun) berada dalam kewenangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pendekatan perencanaan pembangunan selain diatur dalam UU 25/2004 SPPN juga terdapat pada Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menetapkan alur dan proses perencanaan pembangunan yang tidak lagi melalui pendekatan teknokratis dan atas-bawah (top down) seperti diterapkan oleh Orde Baru (Orba). Namun, juga melakukan pendekatan partisipatif dan bawah-atas (bottom up) serta politis.
Selain itu, mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional pendekatan tersebut harus mempertimbangkan prinsip tematik, holistik, integratif, dan spasial (penjabaran program satu kesatuan dan terkait). Artinya, kebijakan pembangunan nasional juga harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari hulu hingga hilir dimana rangkaian kegiatan dilaksanakan dalam keterpaduan pemangku kepentingan dan pendanaan, serta dalam satu kesatuan wilayah dan keterkaitan wilayah (kepala daerah). Demikian pula halnya dengan langkah-langkah perencanaan pembangunan ekonomi harus dimulai dengan menentukan tujuan pembangunan ekonomi, kemudian menyusun sasaran (target) pembangunan, melaksanakan pembangunan, dan pengawasan pembangunan.
Tujuan pembangunan ekonomi nasional sudah termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang secara teknis diarahkan bagi peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup pokok, peningkatan standar hidup, dan perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi semua lapisan masyarakat. Indikator keberhasilan pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan nasional ini akan terlihat setidaknya pada pendapatan per kapita yang menggambarkan rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap individu dalam suatu negara. Indikator lainnya, yaitu terjadinya perubahan struktur ekonomi, rendahnya angka urbanisasi (perpindahan penduduk dari desa ke kota). Secara nasional, terdapatnya perubahan angka tabungan, adanya perbaikan Indeks Pembangunan Manusia/IPM (terlihat pada data sektor sektor pendidikan dan kesehatan) dan Indeks Kualitas Hidup/IKH (terlihat dalam angka kemiskinan, pengangguran dan perumahan layak), serta terkendalinya laju inflasi.
Dibandingkan dengan pemerintahan Orba, maka proses pendekatan perencanaan pembangunan nasional dan daerah serta sektoral lebih akomodatif dan partisipatif. Partisipasi publik ditunjukkan dalam hal peran serta kelompok masyarakat dalam menentukan program dan kegiatan pada forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) yang diadakan secara nasional maupun lokal.
Secara politik, demokrasi yang dijalankan selama masa reformasi melalui cara pemilihan Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota secara langsung telah memungkinkan beragam pilihan publik. Pilihan seorang sosok yang akan memimpin rakyat dalam suatu organisasi pemerintahan untuk menjalankan program pembangunan dalam periode 5 (lima) tahun mendatang. Program-program nasional, daerah dan sektoral itu juga diajukan oleh calon-calon pemimpin yang diusung oleh partai-partai politik sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Masalahnya kemudian, adalah berbagai program pembangunan yang dijanjikan oleh para calon pemimpin selama ini dimasa kampanye Pemilu tidak pernah sinkron dengan UU SPPN 2024, bahkan tidak tertunaikan secara penuh dan tuntas.
Apalagi, janji-janji kampanye tersebut hanya didasarkan pada kepentingan memperoleh suara politik (vote) yang terbanyak tanpa mempertimbangkan keselararan dengan maksud, arah dan tujuan pembangunan jangka menengah dan panjang yang dimandatkan UU SPPN 2004. Dampaknya, tingkat keberhasilan program akan rendah disebabkan program yang tidak rasional (janji kampanye ansich) atau tidak tercapai sama sekali karena penilaian politis dalam bentuk dukungan suara lebih dominan bagi kepentingan memenangkan kontestasi Pemilu.
Pola ini membuka peluang adanya transaksi alokasi anggaran antara kekuatan politik yang mendukung kepemimpinan nasional maupun daerah dengan oknum aparat Ditjen Anggaran Kemenkeu. Kasus-kasus mafia anggaran misalnya melalui operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap anggota Komisi XI DPR RI periode 2014-2019 Amin Santono, eks Pejabat Kemenkeu Yaya Purnomo, Eka Kamaluddin sebagai perantara, dan pemberi suap Ahmad Ghiast pada bulan Mei 2018 di Jakarta merupakan contoh tak terbantahkan. Hal ini akan terus terjadi apabila kewenangan perencanaan pembangunan nasional, pendekatan yang dominan serta penganggarannya berada pada instansi yang terpisah sehingga koordinasinya menjadi sulit dan tingkat pencapaian keberhasilannya rendah.
Akuntabilitas program pembangunan yang dijalankan juga menjadi rendah dan tidak berkualitas disebabkan lembaga-lembaga pemerintahan cenderung ditempati oleh para politisi. Dominasi pendekatan politis ini ditambah oleh kewenangan penganggaran yang tidak satu atap membuka peluang besarnya ruang deviasi (penyimpangan) tercapainya arah, sasaran dan tujuan pembangunan nasional.
Disatu pihak, terdapat instansi khusus yang berwenang melakukan proses dan pendekatan perencanaan pembangunan nasional yang tidak hanya politis oleh Bappenas. Disisi lain, kewenangan penganggaran berada pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Anggaran yang tidak punya kompetensi perencana (planner).
Oleh karena itulah, mengembalikan kewenangan Bappenas terkait fungsi perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan seperti era pemerintahan Orba dulu menjadi keniscayaan. Bappenas adalah kementerian/lembaga yang telah berpengalaman (shopisticated) dan memiliki rekam jejak (track record) yang jelas dan akan mampu menjadi penyusun kerangka dasar dan tahapan program pembangunan Presiden terpilih 2024-2029, baik secara regional maupun sektoral. Akan lebih elok lagi, jika Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih Republik Indonesia (versi quick count/QC) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyatukan Bappenas dengan Kementerian Koordinator Ekonomi. Keuangan dan Industri (Kemenko Ekuin) agar koordinasi pelaksanaan (eksekusi) program dan kegiatan pembangunan lebih solid, terukur serta menyatu dengan kewenangan kendali (supervisi) pencapaian keberhasilannya.
Memperluas kewenangan koordinasi justru semakin memperburuk rantai birokrasi, tidak efektif dan efisien terhadap kemampuan anggaran (APBN) yang terbatas (budget constraint). Apalagi menambah numenclateur Kemenko Kemaritiman dan Investasi yang sebenarnya tidak relevan dan justru lebih optimal keberhasilannya dibawah kendali Menteri PPN/Kepala Bappenas merangkap Kemenko Ekuin.
Semoga Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dapat mempertimbangkan organisasi kabinet mendatang yang lebih ramping dan kondusif dalam perencanaan, penganggaran serta koordinasi janji program pembangunan dimasa kampanye. Dengan mengakomodasi pengembalian kewenangan Bappenas dan Kemenko Ekuin dalam satu atap dengan satu orang pejabatnya, yaitu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas dan Menko Ekuin. Dan, kewenangan program makan siang dan susu gratis implementasinya dapat diberikan kepada Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra). (*)
* Defiyan Cori Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
11 hari yang lalu