Meneropong Romantisme Ubud-Batur dari Teks dan Kesejarahan

Selasa, 08 September 2020 01:04 WIB

Penulis:Bambang Susilo

Gianyar – Citra Ubud sebagai destinasi wisata yang tersohor di dunia tidak terlepas dari keterjagaan alam dan budayanya. Eksistensi dua elemen tersebut berakar dari hidupnya nilai-nilai agraris yang telah diwarisi oleh masyarakat Ubud sejak masa lampau.

Dalam ranah agraris, Ubud memiliki keterjalinan yang erat dengan Pura Ulun Danu Batur. Menurut perspektif masyarakat Ubud, utamanya dari kalangan puri, Ubud adalah anak emas Batur. Sebagai seorang ibu, alam Batur telah memberi anugerah melimpah pada Ubud yang mewujud menjadi berbagai aliran sungai.

"Tetua kami memiliki kepercayaan bahwa Ubud merupakan anak emas Batur yang berangkat dari limpahan anugerah yang didapat Ubud atas keberlimpahan air dari Ida Sane Madue Toya atau Beliau yang Berkuasa Atas Air," kata tokoh Puri Ubud, Tjokorda Gde Dharmaputra Sukawati, dalam Rembug Sastra "Ubud dan Batur dalam Perspektif Teks dan Kesejarahan" yang digelar Ubud Royal Weekend di Museum Puri Lukisan Ubud, Sabtu (5/9/2020) lalu.

Keyakinan atas limpahan anugerah itu pada akhirnya turut membangun sistem kebudayaan Ubud, terutama dalam ranah religi. Terkait dengan hal tersebut, Tjokorda Dharmaputra menjelaskan setidaknya ada lima konsep yang dapat digunakan untuk menjejak keterhubungan Ubud-Batur.

“Lima konsep itu yakni menurut pura, puri, para, pari, dan purana. Dari sisi pura, di kawasan Ubud ditemukan banyak sekali pura pemujaan sawah dan tegalan, seperti Pura Ulun Suwi, Pura Empelan, Pura Subak, Pura Masceti, Pura Sakenan, dan Pura Alas Arum. Bahkan, ada yang dinamai sebagai Pura Gunung Lebah dan Pura Ulun Danu sebagai pemujaan Bhatari Batur,” katanya.

Pura pemujaan terhadap elemen kesuburan tersebut rata-rata dibangun melalui campur tangan puri sebagai representasi penguasa pada masa silam. Tempat-tempat pemujaan ini ditujukan kehadapan entitas Bhatari Dewi Danuh yang diyakini telah memberi anugerah kehidupan, termasuk menghindarkan lahan pertanian dari hama. Sepanjang catatan yang diketahuinya, daerah persawahan Ubud sangat jarang mengalami gagal panen sehingga terjadi swasembada di kawasan kerajaan itu.

“Sejumlah tokoh puri juga tercatat sebagai pemuja Batur yang taat. Sebab, selain ketahanan pangan, capaian-capaian politis Ubud di kemudian hari seringkali diyakini sebagai anugerah yang diterimanya dari sosok Bhatari Batur,” katanya.

Menurut konsep para, yakni khalayak luas atau masyarakat, hingga saat ini terbangun keyakinan bahwa orang-orang Ubud sangat pantang mengganggu, apalagi mengusir para pengelana Batur yang datang ke Ubud. “Konsep pari yang artinya padi, terkait dengan konsep pertama dan kedua tentang kesuburan pertanian Ubud oleh limpahan air Batur.  Sementara, menurut konsep purana, teks Raja Purana Pura Ulun Danu Batur saat ini masih menjadi pegangan Ubud untuk senantiasa ingat memuja Bhatari Danuh,” katanya.

Di era ini, imbuh Tjokorda Dharmaputra, relasi-relasi Ubud dan Batur tercermin melalui partisipasi masyarakat Ubud dalam pelaksanaan berbagai ritus. Partisipasi itu misalnya saat Ngusaba Kadasa di Pura Ulun Danu Batur, pakelem di Danau dan Gunung Batur. “Sebagai wujud keterkaitan yang erat, bahkan pada pelaksanaan karya agung di Pura Gunung Lebah pada 1991 dan 2014, Ida Bhatari Batur juga tedun atau hadir ke Ubud,” tandasnya.

Narasumber lainnya, I Ketut Eriadi Ariana, yang merupakan Jero Penyarikan Duuran Batur, menjelaskan adanya konsep pasihan yang menghubungkan Batur dengan pemujanya. Pasihan adalah jejaring subak yang mendapat aliran air dari Danau Batur. Relasi pasihan muncul sebagai penerjemahan atas entitas Ida Bhatara Sakti Makalihan, yakni dua dewata yang diyakini sebagai pemilik tanah dan air.

Raja Purana Pura Ulun Danu Batur menjelaskan ada sejumlah desa di sekitar Ubud yang diperkenankan menggarap sawah duwe atau milik Bhatari Batur. Sebagai gantinya, desa-desa yang disebutkan dalam teks keramat itu harus mempersembahkan sebagian hasil panennya ke Batur saat pelaksanaan upacara terbesar di pura tersebut.

"Dalam hal kepemilikan air, Danau Batur diyakini telah mengalir ke kawasan Bali Selatan maupun Bali Utara. Teks Pratekaning Usana Siwa Sasana menyebut daerah yang teraliri air Batur sebagai pasihan, dimana anggotanya rata-rata masyarakat subak atau desa yang memiliki hak dan kewajiban tertentu selama proses ritus yang berjalan di Pura Batur," jelasnya.

Alumnus Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini menafsir konsep pasihan sebagai sistem subsidi purba masyarakat tani di Bali. Konsepnya, masyarakat yang menerima keberlimpahan air memiliki kewajiban moral terhadap masyarakat dan kawasan tadahan air. Konsep ini pada akhirnya akan menghadirkan keseimbangan kawasan hulu dan hilir.

Dalam ranah modern, konsep pasihan kembali dikuatkan melalui studi Badan Geologi Kementerian ESDM yang menjelaskan bahwa air yang terserap di Pegunungan Kintamani baru akan muncul ke permukaan yang berada di atas 7 km setelah bibir Kaldera Batur. "Oleh karena itu, sangatlah masuk akal Ubud disebut sebagai anak emas Bhatari Batur, karena memang menerima asupan air yang relatif berlimpah, yang sejalan dengan kesejahteraan yang diterima," terangnya.

Lebih jauh, pemuda yang intens membaca sastra tradisional dalam perspektif ekologi ini menafsir bahwa konsep pasihan merupakan salah satu alat ukur kelangsungan ekologi Bali. Persembahan sarana-sarana tertentu oleh anggota pasihan mengindikasikan bahwa wilayah tersebut masih mampu memproduksi sarana-sarana itu. Jika suatu ketika suatu daerah itu sudah tidak mampu dipersembahkan sarana yang diminta, artinya telah terjadi ketidakseimbangan ekologi di kawasan tersebut.

"Keterikatan Batur-Ubud juga dapat dilihat dari konsep relasi pura dan puri. Keluarga Puri Ubud sebagai pewaris darah Dalem Waturenggong kini memiliki tugas khusus menjaga eksistensi palinggih Dalem Waturenggong di Pura Ulun Danu Batur. Dalam ruang kelisanan Batur, raja termasyur Bali ini memiliki jasa yang besar selama proses penyatuan Batur di masa silam, sehingga saat ini kami menyembahnya sebagai bhatara," pungkasnya.