Selasa, 20 Oktober 2020 05:41 WIB
Penulis:Bambang Susilo
GIANYAR – Tata adab Bali dibangun melalui proses aguron-guron atau perguruan yang panjang terhadap semesta. Cara pandang manusia Bali terhadap alam akan melahirkan kebudayaan Bali yang begitu khas dan tidak lekang oleh debur zaman.
Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Gusti Agung Paramita, mengatakan ada tiga cara pandang manusia Bali terhadap dunia. Hal tersebut dinyatakan dalam diskusi bertajuk “Membaca Kembali Tata Adab Bali” Ubud Royal Weekend di Ubud, Gianyar belum lama ini.
“Ada tiga cara pandang dunia orang Bali yang bisa saya cermati, yang membangun kebudayaan Bali selama ini, yakni sintesis atau kesatuan, dualistik, dan hierarkis,” tuturnya.
Sintesis adalah kesatuan. Hal ini dapat dilihat dari karakter orang Bali yang tidak bisa membedakan realitas yang tajam antara nyata dan tidak nyata. Realitas dan non-realitas atau yang sering disebut sebagai sekala-niskala menurut orang Bali menyatu. Mereka tidak dapat dibedakan dalam sekat yang jelas seperti cara pandang Barat.
Cara pandang itu menyebabkan orang Bali tidak pernah memisahkan kondisi sakral dan profan secara ketat. Menurutnya, orang Bali selalu berupaya melibatkan kekuatan sekala dan niskala dalam kehidupannya, termasuk dalam hal berkesenian, meski pelakunya merupakan orang yang begitu empiris.
Cara pandang dualistik, seorang Bali dinilai memandang suatu hal selalu dalam dua sisi yang berbeda dan tak bisa dipisahkan. Konsep ini melahirkan adanya konsep hulu-teben, purusa-pradhana, rwa bhineda, akasa-pretiwi, kiwa-tengen, dan seterusnya. Dualitas ini hadir sebagai wujud keseimbangan semesta. Ketika salah satunya tidak stabil, maka akan secara tidak langsung juga mengganggu keharmonisan semesta yang besar.
“Ketiga adalah hierarkis. Dalam hal kosmologi Bali, alam tidaklah horizontal, melainkan juga vertikal. Bahkan, kosmos dinarasikan terdiri dari tujuh tingkatan atau yang dikenal sebagai sapta patala, termasuk di dalamnya ada tri loka, yakni bhur, bwah, swah. Namun, menurut saya pelapisan ini sejatinya lebih condong kepada aspek fungsional daripada sekadar keturunan,” tegasnya.
Sementara itu, budayawan Bali, I Wayan Westa, menjelaskan bahwa tata pengetahuan Bali sejatinya tidak saja cukup hanya pada penguasaan pengetahuan atau sains. Manusia Bali, justru tak hanya mengandalkan kemampuan rasio, namun juga mengasah meta-rasio yang dikenal sebagai waskita atau siddhi atau yang kemudian dikenal sebagai kadhiatmikan dalam pengertian yang luas.
Dicontohkannya, pola-pola gabungan dari sains di masa silam dan waskita itu salah satunya direalisasikan dalam pembuatan sumur. Seorang Bali di masa silam dapat mengetahui keberadaan air hanya dengan menempelkan telinganya di tanah, sebuah pengetahuan yang begitu teruji di masanya. “Waskita itu kini kian tumpul bahkan hilang pada manusia Bali,” ucapnya.
Ia mengamati, tatanan Bali di masa silam sejatinya melekat atau membadan pada manusia. Sejumlah istilah dalam sastra Bali menyebut hal tersebut sebagai sastra paraga atau sastra yang membadan atau dikenal sebagai wibuh ing aji. Semuanya berakar pad acara pandang atas keselarasan dan pemahaman terhadap alam.
“Kosmos Bali menjelaskan bahwa tata tertib hidup manusia, tertib hidup masyarakat, tertib hidup bernegara didedikasikan dari tertib kosmos. Tindakan kita di bumi terhubung dengan tata tertib kosmos itu,” ucapnya.