Sabtu, 06 Februari 2021 15:10 WIB
Penulis:E. Ariana

Denpasar, Balinesia.id – Sanggar Seni Kakul Mas, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar menjadi salah satu penyaji Sesolahan Bulan Bahasa Bali 2021. Mereka menyajikan garapan Gambuh Batuan dengan berjudul “Bhagawan Dharmaswami” yang menyajikan kisah persahabatan seorang pendeta dan para binatang hutan.
Garapan tari klasik ini ditayangkan channel YouTube Disbud Prov. Bali, pada Kamis (4/2/2021). Mereka pun tampak berhasil membawa seni klasik itu menyebarangi lautan zaman dengan perantara teknologi.
Jika dicermati, sajian Gambuh Batuan yang disajikan memiliki sisi-sisi keunikan dibanding tari gambuh dari daerah lain. Kekhasan itu di antaranya gerak tari dan gending yang dibawakan. “Itulah yang membedakan Gambuh Batuan dengan lainnya. Gending-gending yang dinyanyikan adalah gending “meadan” (memiliki nama). Sebut saja, Gending Sekar Gadung yang khusus dinyanyikan oleh tokoh arya. Dalam pentas gambuh lain juga ada, tetapi dengan nada yang lain,” kata Ketua Sanggar, I Ketut Wirtawan.
Dari sisi tari, ciri khas Gambuh Batuan terletak pada gerak “ngalih pajeng” (mencari payung). Gerak unik ini ditarikan oleh tokoh arya, prabu, condong, dan tumenggung. Semua penari biasa melakukan gerakan sledet (gerakan mata melirik ke sudut mata), demikian pula iringannya yang menggunakan alat klasik khas Gambuh Batuan.
Ia mengatakan, garapan berdurasi sekitar satu jam ini didukung oleh penari-penari muda dan tua. Sementara, penabuh yang mengiringi merupakan para seniman senior yang sudah biasa tampil dalam kegiatan gambuh sebelumnya. “Para penari terdiri dari Ni Ketut Kontri, Nrta Luhur, Swasti Dewi, Juniati, Sumariani, Ditha, Made Rubuh, Warja, Sudiawan, Sudarma, Yande Sukahati, Tilin Karismaya, Natya, Dek Swi, Mang Adi, dan Dek Edo. Sementara pendukung tabuh yakni, Marcono, Galang Widnyana, Artawa, Manggi, Mardika, Yan Agus, De Kori Agung, Samben, dan Daweg,” katanya.
Proses penyajian dilakukan di suatu tempat. Dari tempat itulah kemudian sajian dipentaskan oleh para seniman. “Karena situasi dan lain hal, Kami diminta panitia untuk tampil secara virtual juga. Maka itu, kami hanya merekam disatu tempat saja, dengan latar yang bisa yang berbeda-beda,” ucapnya.
Wirawan menuturkan, kisah yang dibawakan bersetting di Kerajaan Madura. Kala itu, raja sedang bersedih hati karena kehilangan putra mahkota pada saat berburu ke tengah hutan. Para patih dan dayang-dayang kerajaan menghibur duka lara tuanya.
Kondisi yang dihadapi raja sangat berbeda dengan Begawan Dharmaswami yang hidup harmonis dengan seisi hutan belantara. Bhagawan hidup dengan para binatang, seperti si macan, kera, dan ular yang sangat setia mendampingi sang pendeta. “Suatu hari Sang Begawan mendapati seorang yang berkelana bernama Pande Swanangkara jatuh ke dalam sumur, berbaik hatilah sang pendeta menolongnya. Merasa kasihan terhadap Pande Swanangkara, diberikan sebuah mahkota putra raja Madura yang ditemukan Begawam di tengah hutan,” katanya.
Pande Swanangkara tampak senang menerima mahkota tersebut dan segera bergegas pamit. Ia kemudian menghadap Raja Madura dan menghaturkan mahkota putra raja. Ia mengatakan bahwa yang memberikan mahkota itu adalah Begawan Dharmaswami.
“Raja Madura naik pitam memerintahkan punggawanya untuk mencari Begawan Dharmaswami dan diikat dialun-alun kerajaan. Melihat hal tersebut para binatang seperti macan, kera, dan ular menyerang Kerajaaan Madura. Raja berhasil dipatuk oleh si ular hingga jatuh sakit,” tuturnya.
Penasehat raja kemudian mengatakan bahwa hanya Begawan Dharmaswami yang bisa menyembuhkan raja. Oleh karena itu, Begawan Dharmasawami kemudian dilepas. Sang pendeta dengan suka hati segera mengobati raja. “Raja seketika itu pulih kembali, diperintahkanlah para patih menangkap Pande Swanangkara untuk dihukum sesuai perbuatannya,” katanya. (jro)