pertamina
Kamis, 01 Juli 2021 09:40 WIB
Penulis:Rohmat

Sebelum penetapan kebijakan harga gas sebesar US$6 per MMBTU yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan diberlakukan pada 1 April 2021, maka Pemerintah pernah membatalkan rencana kenaikan harga gas yang telah ditetapkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) pada 1 November 2019.
Hal ini dikarenakan oleh adanya desakan dari para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (KADIN) kepada Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo agar menyiapkan harga gas murah demi keberlangsungan industri.
Keputusan ini akhirnya ditetapkan oleh Presiden dengan menerbitkan aturan hukum sejak empat tahun lalu dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri.
Sektor yang mendapatkan penurunan harga gas sesuai Perpres 40 Tahun 2016 adalah pupuk, oleochemical, baja, keramik, petrokimia, kaca dan sarung tangan karet.
Namun, faktanya sumbangan sektor industri justru tidak beranjak dari angka sebelum pandemi Covid-19 terjadi dan tidak mampu menggeser tingkat pertumbuhan ekonomi kuartalan, semesteran dan tahunan secara drastis.
Justru sebaliknya, pemerintah malah akan memperluas harga gas maksimal US$6 per MMBTU untuk seluruh industri. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan upaya itu dilakukan dengan alasan mengurangi beban industri di tengah pandemi Covid-19 dengan memperluas tidak hanya untuk tujuh sektor industri saja.
Pertanyaannya, apakah Menteri Perindustrian dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah mempertimbangkan keberlangsungan kehidupan PGN sebagai BUMN strategis bangsa? Kerugian beberapa BUMN dan menumpuknya utang seharusnya menjadi bahan evaluasi kebijakan pemerintah untuk tidak terlalu pro korporasi swasta.
Industri sebaiknya tak disubsidi, kecuali kelompok masyarakat miskin yang terus menerus ada diantara angka 27-30 juta penduduk, dan pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 4-5 persen selama periode 2014-2019.
Disamping itu, potensi penyimpangan alokasi subsidi serta tidak tepat sasaran telah terjadi bertahun-tahun dan tidak efektif menanggulangi kemiskinan, apalagi meningkatkan skala usaha mikro kecil dan menengah. Jangan sampai menyelamatkan sekelompok korporasi swasta yang menguntungkan orang per orang, mengabaikan perusahaan negara yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Alokasi subsidi sebaiknya diindikasikan dengan sasaran keseimbangan struktur industri, justru yang produktif bukanlah kelompok sasaran.
Apabila suatu kelompok industri telah memberikan nilai tambah produksi (added value), apalagi dampak mengganda (multiplier effect) tidak perlu diberikan alokasi subsidi harga. Apresiasi atas produktifitas sektor industri yang berkinerja positif ini justru harus diberikan dalam bentuk insentif lain. (*)
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta