Ikuti Arahan Pemerintah, Tarian Sakral Ratu Brutuk di Terunyan Tidak Dipentaskan

Jumat, 02 Oktober 2020 17:16 WIB

Penulis:Bambang Susilo

BANGLI - Pandemi Covid-19 mengadaptasi sejumlah kebudayaan Bali. Salah satunya ritual sakral pentas Ratu Brutuk di Desa Terunyan, Kintamani, Bangli.

Pentas sakral yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali pada Purnama Kapat Lanang, yakni purnama bulan keempat dalam Kalender Saka genap terpaksa ditiadakan.

Penyarikan Desa Terunyan, Jero Penyarikan Dewi menuturkan, peniadaan pentas ikonik di desanya itu dilakukan sebagai salah satu bentuk implementasi arahan pemerintah bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang mengimbau untuk mempersingkat dan menerapkan protokol kesehatan pelaksanaan yadnya atau upacara.

"Tahun ini upacara Purnama Kapat Lanang di Pura Pancering Jagat Terunyan hanya kami laksanakan sehari mengikuti protokol kesehatan. Terkait itu, tahun ini kami juga tidak mementaskan tarian suci Ratu Brutuk," katanya, Kamis (01/10/2020).

Jero Penyarikan Dewi menjelaskan meski pelaksanaan ritual digelar secara sederhana menurut protokol kesehatan, pihaknya mengaku makna inti upacara tidak berkurang. Pihaknya pun berharap pandemi segera berakhir, sehingga semua kehidupan dapat berjalan normal seutuhnya.

"Upacara kami lakukan hanya internal dengan penerapan protokol kesehatan. Tidak mengurangi makna dari upacara yang digelar sebelumnya," imbuhnya.

Pentas sakral Ratu Brutuk atau yang lebih dikenal sebagai Barong Brutuk merupakan salah satu rangkaian upacara di Pura Pancering Jagat Desa Terunyan. Ratu Brutuk dipentaskan oleh pemuda atau truna desa sebagai tarian penolak bala dan simbol kemakmuran.

Secara filosofi, Ratu Brutuk bermakna sebagai "pernikahan"  Ida Bhatara Pancering Jagat dan Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Masing-masing dari keduanya merupakan simbol unsur purusa atau maskulin atau unsur-unsur kejiwaan serta simbol pradhana atau feminim atau unsur-unsur kebendaan. Adapun pernikahan yang dimaksud adalah penyatuan kedua unsur itu, dimana pertemuan akan melahirkan kehidupan, kesuburan, dan kemakmuran.

Ratu Brutuk merupakan barong perorangan. Seorang penari akan mengenakan topeng keramat dengan badannya ditutup menggunakan kostum dari daun pisang kering atau kraras. Selama pentas, Ratu Brutuk membawa cemeti yang akan dicambuk-cambukkan sepanjang jalan.

Masyarakat meyakini, jika terkena cambuk itu akan menghilangkan berbagai penyakit. Begitu juga kostum penari yang berupa daun pisang kering turut juga diyakini oleh masyarakat membawa keberuntungan dan keselamatan. Tak jarang ketika Ratu Brutuk pentas daun pisang kering itu akan diminta dan disimpan oleh masyarakat sebagai simbol anugerah.