pertamina
Rabu, 03 Juli 2024 18:25 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia diketahui kerap menghadapi berbagai tantangan klasik yang dapat mengancam keberlangsungan operasional perusahaan.
Salah satu masalah yang sering terjadi adalah manajemen yang tidak efektif. Situasi yang dapat berujung pada keputusan-keputusan strategis yang tidak tepat dan berdampak buruk bagi kelangsungan perusahaan.
Selain itu, kasus dugaan korupsi yang melibatkan dana perusahaan kerap kali mencuat, menggerogoti kepercayaan publik dan mengurangi kemampuan finansial perusahaan untuk berkembang.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut lima perusahaan BUMN yang diterpa kasus hingga terancam bangkrut.
PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) menghadapi serangkaian masalah kompleks yang akhirnya mengarah pada rencana pembubaran perusahaan pada bulan Februari 2023.
Dari sisi keuangan, Merpati terbebani utang besar yang mencapai Rp 10,7 triliun pada tahun 2022, disebabkan oleh inefisiensi manajemen, harga tiket yang rendah, dan subsidi pemerintah yang tidak memadai.
Perusahaan ini juga mengalami kerugian berkelanjutan, dengan total kerugian mencapai Rp 7,6 triliun pada tahun 2020, sehingga membuat perusahaan semakin sulit untuk beroperasi dan membayar utang.
Selain itu, Merpati kekurangan modal untuk mendanai operasi dan investasi yang diperlukan guna meningkatkan efisiensi dan daya saingnya.
Dari sisi operasional, Merpati memiliki armada pesawat tua, menyebabkan biaya operasi tinggi dan seringnya terjadi kerusakan.
Perusahaan juga melayani banyak rute penerbangan yang tidak menguntungkan, terutama ke daerah terpencil, yang membuatnya sulit memperoleh keuntungan.
Selain itu, kekurangan tenaga kerja terampil, terutama pilot dan teknisi, menyulitkan pemeliharaan dan operasi armada.
Dalam hal manajemen, Merpati dikritik karena manajemennya yang tidak efektif, yang menyebabkan inefisiensi, korupsi, dan pengambilan keputusan yang buruk.
Perusahaan juga sering menjadi sasaran intervensi politik, mengakibatkan pengangkatan pejabat yang tidak kompeten dan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pertimbangan bisnis.
PT Istaka Karya (Persero), yang dulunya merupakan raksasa konstruksi Indonesia dengan proyek-proyek internasional, mengalami serangkaian masalah yang berujung pada kebangkrutan pada tahun 2023.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada kejatuhan Istaka Karya adalah masalah keuangan. Perusahaan terbebani dengan utang yang sangat besar, mencapai Rp 22,3 triliun pada tahun 2022.
Utang ini berasal dari berbagai proyek yang mangkrak, mismanajemen, dan akuisisi yang gagal.
Selain itu, perusahaan mengalami kesulitan dalam mendapatkan arus kas baru untuk membayar utang dan membiayai proyek-proyeknya, yang menyebabkan penundaan pembayaran kepada kontraktor dan subkontraktor, semakin memperparah masalah keuangan.
Istaka Karya terlibat dalam beberapa kasus hukum dengan kontraktor dan subkontraktor, yang memakan banyak biaya dan menghambat operasional perusahaan.
Waskita Karya terbebani utang besar, mencapai Rp56,9 triliun pada akhir tahun 2022.
Utang tersebut berasal dari proyek-proyek mangkrak, akuisisi yang gagal, dan mismanajemen.
Perusahaan juga menghadapi arus kas yang negatif, menyulitkan pembayaran utang dan pembiayaan proyek, serta mengakibatkan penundaan pembayaran kepada kontraktor dan subkontraktor.
Laba bersih perusahaan mengalami penurunan drastis, dengan jumlah kerugian bersih mencapai Rp9,8 triliun pada tahun 2022.
Kasus korupsi yang menjerat beberapa petinggi perusahaan merusak citra dan menghambat pengambilan keputusan. Lemahnya pengawasan dari pemerintah dan pemegang saham memungkinkan mismanajemen dan keputusan yang tidak tepat.
Selain itu, Waskita Karya dikritik karena tidak memiliki strategi bisnis yang jelas dan terarah, membuat perusahaan kesulitan beradaptasi dengan perubahan pasar dan persaingan.
Garuda Indonesia memiliki utang mencapai US$9,75 miliar sekitar Rp 138,45 triliun (kurs Rp16.450) pada tahun 2021, jumlah ini jauh melebihi aset perusahaan.
Utang tersebut disebabkan oleh kesalahan manajemen serta dampak pandemi COVID-19. Selain itu, struktur biaya yang tidak efisien akibat banyaknya jenis pesawat yang dimiliki menambah beban operasional.
Dugaan korupsi yang sedang diselidiki juga merusak citra dan kepercayaan investor.
Pandemi COVID-19 memperparah kondisi, pembatasan penerbangan menyebabkan jumlah penumpang turun drastis.
Berbagai upaya penyelamatan, termasuk restrukturisasi utang, pengurangan karyawan, efisiensi biaya, dan penjualan aset, sedang dilakukan.
Namun, masa depan Garuda Indonesia tetap belum jelas, keberhasilan upaya penyelamatan tersebut bergantung pada efektivitas upaya penyelamatan dan dukungan pemerintah.
BUMN farmasi ternama di Indonesia ini terjerat kasus keuangan besar yang terungkap pada awal tahun 2023.
Skandal kasus tersebut berujung pada perombakan jajaran direksi dan komisaris perusahaan.
Kasus utama yang menjadi sorotan adalah dugaan pinjaman fiktif sebesar Rp1,26 triliun.
Dana tersebut digunakan untuk membiayai operasional perusahaan namun tidak dicatat dalam laporan keuangan resmi.
Selain itu, terdapat indikasi bahwa laporan keuangan Indofarma telah dimanipulasi untuk menutupi aksi pinjaman fiktif tersebut.
Manipulasi tersebut meliputi penggelembungan laba perusahaan dan pencatatan piutang usaha fiktif, yang berpotensi merugikan investor serta pemangku kepentingan lainnya.
Dugaan korupsi juga mencuat terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa di Indofarma.
Dugaan ini semakin memperparah citra negatif perusahaan yang sudah tercoreng akibat kasus pinjaman fiktif dan manipulasi laporan keuangan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 21 Jun 2024
12 hari yang lalu