Kamis, 07 Januari 2021 15:30 WIB
Penulis:E. Ariana

DENPASAR – Pentas seni “Blind in Paradise” yang disajikan seniman Bali, I Gede Made Surya Darma di Griya Santrian, Sanur, Rabu (6/1/2021) sore mengetengahkan refleksi mendalam atas kondisi kekinian. Perupa jebolan ISI Yogyakarta itu berupaya mengajak penonton menyelam ke dalam sejarah pandemi yang pernah menyebar di dunia, kemudian kembali ke permukaan merefleksikan kearifan untuk menapak masa depan.
Pertunjukan seni yang dilaksanakan sebagai bagian pameran seni “Sipp Setiap Saat” itu digarap bersama seniman lintas genre dan negara. Mereka yang terlibat adalah DJ Kamau Abayomi (California America), I Putu Purwwangsa Nagara alias Wawan Brsacuk (dalang wayang kulit dari Sanggar Seni Kembang Bali), D. Jimmy Tedjalaksana (founder Virama Music Studio), dan I Kadek Dedy Sumantra Yasa (seniman). Pertunjukkan itu juga dikolaborasikan dengan lukisan berjudul “Pedanda Baka” yang turut dipamerkan dalam pameran tersebut.
“Performance art (pertunjukkan seni, red) yang saya hadirkan merespons pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini. Sebenarnya saya pernah lakukan pertunjukkan dengan model yang sama di Museum Nasional Bangalore, India pada 11-25 November 2011 dalam Festival Performance art International ‘Dawn-dusk Live Art 2011’,” katanya.
Pertunjukkan dilakukan di kolam Santrian Hotel. Pertunjukkan diawali dengan musik pembuka dari berbagai instrumen. Setelahnya, Surya Darma melantunkan tembang Alas Arum yang biasanya dilantunkan seorang dalang dalam pertunjukkan wayang. Musik yang membuka penampilan tersebut dimaknai sebagai simbol penciptaan semesta.
Beranjak dari music tersebut, bunga-bunga yang beragam warna ditaburkan ke kolam renang yang dinyatakan sebagai simbol makrokosmos. Sementara itu, lukisan “Padanda Baka” yang mengambang di air merupakan simbol dari tattwa yang mengandung kearifan yang dimiliki Bali.
Usai menaburkan bunga itu, ia kemudian memperlihatkan kertas-kertas yang bertuliskan berbagai pandemi, tahun terjadinya dan korban yang ditimbulkan. “Saya mengambang di permukaan air dengan tebaran bunga dan kertas yang diprint tentang sejarah virus melanda dunia. Mata saya ditutup sebagai simbol bahwa tidak bisa jelas melihat mana yang benar mana yang salah. Seolah-olah buta dalam kegemerlapan kehidupan duniawi,” jelasnya.
Dalam situasi dunia yang tidak menentu tersebut, ia berupaya mengajak umat manusia untuk memaknai kembali kearifan lokal yang dinarasikan salah satunya pada kisah Tantri. “Saya ingin mengingatkan bahwa cerita Pedanda Baka maupun cerita rakyat lokal lainnya merupakan sesuluh hidup pada era kekinian,” terangnya.