Biaya Perawatan Jeruk Tinggi, Petani Muda di Kintamani Beralih ke Alpukat

Jumat, 04 September 2020 02:29 WIB

Penulis:Bambang Susilo

DENPASAR – Menyerah dengan tingginya biaya perawatan jeruk, seorang petani muda di Desa Belancan, Kintamani, Wayan Edi Wirawan, akhirnya banting setir ke alpukat. Usahanya sejak tujuh tahun silam mulai menunjukkan keberhasilan. Ia kini menjadi salah satu rujukan petani alpukat di Bangli.

Ketika ditemui di kebunnya yang terletak di barat pusat Desa Belancan, Kintamani, pemuda yang akrab dipanggil Riko itu menuturkan awal mulanya terjun ke dunia budidaya dan pembibitan alpukat. “Ini berawal dari pohon jeruk di lahan saya yang mulai menua. Ada yang umurnya sudah 25 tahun, ada yang sudah ditanam hingga tiga kali yang berakibat pada tingginya biaya produksi,” tuturnya Kamis (3/9/2020).

Kondisi tersebut semakin didesak dengan harga jeruk yang semakin tidak bagus selama beberapa tahun terakhir. Lantaran biaya perawatan dan harga jual tak sebanding, ia akhirnya memilih menanam alpukat secara bertahap.
“Pada tahun 2013 saya memiliki sebatang alpukat lokal. Saya lihat hasilnya cukup baik. Sempat satu pohon menghasilkan buah hingga 400 kg. Dari sana saya kemudian mulai berpikir untuk menanam alpukat,” katanya.

Pada masa awal memutuskan mengganti jeruk ke alpukat, ia mendatangkan tanaman dari Jawa dan Singaraja. Namun, pertumbuhan bibit-bibit tersebut tidak begitu bagus. Jawaban akhirnya didapatkan setelah ia membudidayakan alpukat varietas mentega ungu pada 2015.

Sekitar 2,5 tahun berjalan, alpukat yang ditanamnya mulai belajar berbuah dengan rata-rata panen per pohon menghasilkan 10 kg. Hasil panen tahap kedua menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan rata-rata per pohon menghasilkan 60-80 kg. Kemudian, pada panen ketiga per pohon rata-rata menghasilkan 180 kg.

“Hasil di tiga tahun ini membuat saya semangat, kemudian mulai banyak petani di sekitar kawasan yang meminta bibit. Permintaan itulah yang mendorong saya terjun ke pembibitan,” katanya.

Saat ini, petani-petani alpukat dari sejumlah daerah di Bali mulai meliriknya sebagai salah satu produsen pembibitan alpukat unggul. Sepanjang musim tanam 2020, ia mendapat pesanan bibit sekitar 4.000 pohon, dan hanya seperempatnya yang berhasil dipenuhi.

Menurut mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana ini, antusiasme petani di sekitarnya yang ingin beralih ke alpukat tak terlepas dari berbagai nilai tambah tanaman buah tersebut. Harga rata-rata buah alpukat di pasaran saat ini berkisar Rp13 ribu hingga Rp27 ribu per kg, sedangkan rata-rata per pohon ketika memasuki masa panen ketiga dapat menghasilkan 160-180 kg. "Jika dihitung, alpukat lebih untung dibanding jeruk, karena minim perawatan, sehingga biaya produksi jauh lebih kecil," ucapnya.

Budidaya alpukat, imbuhnya, tidak saja menjanjikan keuntungan ekonomi yang lebih baik dibanding jeruk. Keuntungan lainnya terkait dengan sisi-sisi kelestarian lingkungan.

“Sistem perakaran alpukat lebih mampu menyerap air dan mempertahankan tanah dari erosi. Di sejumlah daerah, bertanam alpukat terbukti mengembalikan sumber-sumber air yang sempat mati. Alpukat juga tidak membutuhkan banyak pestisida seperti halnya dalam perawatan jeruk, sehinga lebih ramah lingkungan,” pungkasnya.