Selasa, 28 Oktober 2025 16:46 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi

JAKARTA – Menurut laporan terbaru dari Media Partners Asia (MPA), pendapatan dari micro drama di Tiongkok diperkirakan akan melampaui pendapatan box office domestik negara tersebut tahun ini.
Studi tersebut menyoroti pertumbuhan ekonomi drama pendek berseri di tingkat global, menunjukkan bahwa pendapatan micro drama di Tiongkok melonjak dari US$0,5 miliar pada 2021 menjadi US$7 miliar pada 2024, dan diperkirakan menembus US$16,2 miliar pada 2030 dengan pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) 11,5%.
Di Tiongkok sendiri, micro drama kini telah menjadi hiburan arus utama, dengan estimasi pendapatan mencapai US$9,4 miliar (sekitar Rp156 triliun) pada 2025 serta lebih dari 830 juta penonton, 60% di antaranya melakukan pembayaran atau transaksi.
Pada tahun 2030, iklan diperkirakan akan menyumbang 56% dari total pendapatan, diikuti oleh langganan sebesar 39%, dan perdagangan sebesar 5%.
Di luar China, pasar micro drama global mencatat pendapatan sebesar US$1,4 miliar pada tahun 2024, dan diperkirakan akan mencapai US$9,5 miliar pada 2030 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 28,4%.
Secara global, struktur pendapatan diperkirakan akan tetap didominasi oleh langganan atau pembelian dalam aplikasi sebesar 74%, sementara pendapatan iklan diproyeksikan meningkat menjadi 25%, dan perdagangan menyumbang 1% pada tahun 2030.
Industri micro drama di China didominasi oleh tiga pemain besar, yaitu ByteDance (Red Fruit), Tencent (WeChat Video Accounts), dan Kuaishou (Xi Fan).
Masing-masing telah mengembangkan aplikasi khusus yang terpisah dari platform video panjang premium, namun terintegrasi erat dengan ekosistem sosial dan pembayaran. Platform-platform ini juga memanfaatkan jalur IP dari COL, China Literature, dan Tomato Novel untuk mengadaptasi novel daring menjadi drama vertikal berseri.
Laporan tersebut juga mencatat pasar micro drama China memasuki fase baru dengan kemunculan micro drama premium, yang memiliki anggaran produksi antara US$400.000 hingga 600.000 per judul dan berpotensi dikembangkan menjadi waralaba.
Kecerdasan buatan (AI) telah diintegrasikan di seluruh rantai nilai industri, mulai dari personalisasi penemuan konten, percepatan iterasi, dan uji genre, hingga alur cerita bercabang dan siklus viral.
Di tingkat global, AI digunakan terutama untuk lokalisasi dan pengisian suara (dubbing), namun perannya dalam efisiensi biaya diperkirakan akan meningkat pesat.
Sementara, di luar China, Amerika Serikat menjadi pasar micro-drama paling menguntungkan, dengan pendapatan mencapai US$819 juta pada 2024 dan diproyeksikan meningkat hingga US$3,8 miliar pada 2030.
Adopsi penonton di Amerika Serikat terutama didorong oleh perempuan urban berusia 30 hingga 60 tahun dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, yang cenderung menyukai kisah romantis, cerita bertema eksekutif (CEO arcs), serta narasi bernuansa balas dendam.
Platform DramaBox mencatat pendapatan sebesar US$323 juta dan laba bersih US$10 juta pada tahun 2024.
Sementara, pesaingnya, ReelShort, berhasil mencapai skala bisnis lebih besar, sekitar US$400 juta pada tahun yang sama, namun masih mengalami kerugian akibat biaya pemasaran tinggi dan amortisasi, menurut laporan Media Partners Asia (MPA).
Di luar China dan Amerika Serikat, Jepang muncul sebagai pasar micro drama terbesar di kawasan Asia-Pasifik (selain China), dengan pendapatan yang diproyeksikan melampaui US$1,2 miliar pada tahun 2030. Pertumbuhan ini didukung oleh integrasi dengan LINE Pay serta meningkatnya produksi lokal.
Menurut laporan tersebut, Asia Tenggara dan Amerika Latin menjadi wilayah dengan potensi pertumbuhan yang menjanjikan, sementara India masih berada pada tahap eksplorasi, dengan keterlibatan platform lokal maupun internasional.
“Micro drama telah berkembang dari eksperimen pasar kecil menjadi kategori global bernilai miliaran dolar,” ujar Vivek Couto, Direktur Eksekutif Media Partners Asia (MPA).
“Produksi kontennya relatif murah, namun distribusi memerlukan biaya tinggi, dan keberhasilan ditentukan oleh kecepatan, skala, serta kemampuan menciptakan IP yang dapat diulang,” imbuhnya.
“Ekosistem China menunjukkan potensi besar ketika konten terintegrasi dengan platform sosial dan sistem pembayaran, sementara Amerika Serikat membuktikan potensi ekspansi global yang berkelanjutan.”
Lebih lanjut, pasar seperti Jepang, Korea, India, Asia Tenggara, dan Amerika Latin kini tengah berkembang. “Pemain yang akan unggul adalah mereka yang mampu mengendalikan infrastruktur distribusi dan monetisasi, mengelola biaya akuisisi pengguna, serta membangun rantai IP yang berkelanjutan,” ujarnya.
Dilansir dari Tufts Daily, micro drama adalah drama berdurasi pendek, sesuai dengan namanya. Setiap episode biasanya berlangsung sekitar dua menit, direkam secara vertikal agar sesuai dengan layar ponsel, dan dibangun dengan alur yang cepat, penuh hook menarik, serta diakhiri dengan cliffhanger dramatis.
Meski tampak seperti fenomena baru, asal-usul micro drama dapat ditelusuri ke China. Dikenal dengan istilah duanju (secara harfiah berarti “drama pendek”).
Format ini mulai melonjak popularitasnya sekitar tahun 2020, ketika platform streaming dan aplikasi video pendek menyadari bahwa penonton menginginkan cerita cepat dan adiktif yang mudah ditonton di mana saja.
Dari situ, model tersebut menyebar secara global. Perusahaan seperti ReelShort dan DramaBox kemudian menyesuaikan jalan cerita agar lebih relevan bagi penonton Barat
Namun tetap mempertahankan formula utama yaitu pembukaan cepat, romansa intens, dan cliffhanger yang membuat penonton terus menonton puluhan episode berturut-turut.
Lalu, mengapa orang menonton micro drama? Sebagian jawabannya terletak pada cara kita mengonsumsi media saat ini. Seperti halnya TikTok yang mengubah cara kita menemukan musik, micro drama dengan mudah menyatu dalam budaya menggulir layar (scrolling culture).
Kontennya singkat, mudah diikuti, dan sarat dengan tema-tema yang akrab, seperti CEO kaya raya, cinta terlarang, hingga sentuhan supernatural. Selain itu, efisiensi produksi juga menjadi pendorong utama tren ini. Satu seri micro drama dapat berisi lebih dari 80 episode, masing-masing berdurasi hanya beberapa menit, dan dikerjakan dengan kru kecil serta set sederhana.
Kecepatan dan skala produksi seperti ini memungkinkan platform untuk menguji berbagai ide secara hemat biaya sekaligus membanjiri penonton dengan konten baru, sangat berbeda dengan siklus produksi televisi tradisional yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Salah satu hal yang paling membedakan micro drama dari bentuk hiburan lainnya adalah banyak aplikasinya menggunakan model “freemium.” Setelah beberapa episode pertama yang dapat ditonton secara gratis, penonton harus membayar menggunakan mata uang dalam aplikasi, koin, atau berlangganan untuk melanjutkan menonton.
Menurut Business Insider, sekitar 75% pendapatan aplikasi micro drama di Amerika Serikat kini berasal dari pembayaran penonton melalui model tersebut.
Meski format duanju yang berkembang di China kini mempengaruhi konten di berbagai platform seperti TikTok di seluruh dunia, studio-studio di Amerika Serikat telah menyesuaikan format ini dengan selera penonton Barat.
Misalnya, CandyJarTV berfokus pada konten pendek bertema romansa, sementara ReelShort mulai bereksperimen dengan genre thriller dan fantasi di samping kisah cinta.
Namun, popularitas micro drama juga menuai kritik. Di China, otoritas regulasi mengecam sebagian tayangan karena dianggap bernilai rendah atau vulgar, dengan alasan bahwa produksi massal melodrama semacam itu mengurangi nilai artistik.
Selain itu, kritikus lokal menyoroti ketergantungan pada pola cerita yang berulang, seperti konflik keluarga dengan ibu mertua licik, pertikaian berlebihan, dan plot yang tidak realistis, yang dinilai dapat menyebabkan kejenuhan penonton.
Beberapa pengamat juga memperingatkan kecepatan produksi dan formula cerita yang terlalu baku dapat merusak kredibilitas artistik micro drama itu sendiri.
Meski menghadapi berbagai tantangan, data menunjukkan micro drama akan tetap bertahan. Beragam platform kini mulai memperluas genre dan memanfaatkan TikTok serta Instagram untuk menarik penonton langsung ke aplikasi mereka.
Perubahan ini menjadi tantangan besar bagi televisi tradisional. Meskipun drama berdurasi pendek tidak akan menggantikan serial prestisius, format ini bersaing ketat dalam merebut perhatian penonton, sekaligus porsi belanja iklan.
Sebagaimana dilaporkan oleh Time dalam profil terbarunya mengenai CEO ReelShort, platform micr drama dapat menyesuaikan alur cerita secara real-time berdasarkan data penonton, sesuatu yang tidak dapat dilakukan jaringan televisi Hollywood.
Tantangan tetap ada, mulai dari menjaga kualitas di tengah produksi massal, menghadapi pengawasan regulasi, hingga mencegah kejenuhan penonton. Namun jika pertumbuhan saat ini terus berlanjut, micro drama berpotensi berkembang menjadi bukan sekadar tren sementara, melainkan elemen permanen dalam lanskap industri hiburan global.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 27 Oct 2025