Berkaca Hari Ini, Berbenah Esok Hari

Rabu, 28 April 2021 19:43 WIB

Penulis:E. Ariana

Teddy.jpg
Teddy Chrisprimanata Putra

[Teddy Chrisprimanata Putra-Ketua Departemen Kajian dan Isu PP KMHDI]

SAYA ingin memulai tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Rg Weda 8.6.28 yang berbunyi, “di tempat yang hening, di gunung-gunung dan di campuhan sungai para maharsi mendapat pemikiran suci dan jernih."

Berangkat dari kutipan tersebut, dapat saya tarik kesimpulan awal bahwa gunung adalah salah satu tempat yang memiliki takaran kesucian lebih tinggi dibanding dengan tempat-tempat lain. Umat Hindu khususnya di Bali pun memiliki kepercayaan bahwa gunung adalah bersemayamnya para dewa. Oleh karenanya banyak ritus yang dilakukan umat Hindu di Bali untuk menyucikan gunung. Selain itu, banyak bisa kita jumpai tempat suci yang berdiri di puncak gunung atau di seputaran gunung—Pura Besakih yang berdiri di kaki Gunung Agung, Pura Puncak Kedaton yang berdiri di puncak Gunung Batukaru, dan Pura Lempuyang Luhur yang berdiri di Bukit Bisbis, Karangasem.

Namun, belakangan masyarakat Bali kembali resah. Sebelumnya umat Hindu khususnya di Bali diresahkan oleh berbagai pernyataan yang sifatnya menyudutkan dan menistakan kepercayaan umat Hindu di Bali yang disampaikan oleh Desak Made Darmawati—meskipun ujungnya ia sudah minta maaf di atas materai. Beberapa waktu lalu umat Hindu di Bali kembali digemparkan oleh memgemukanya video porno sepasang Warga Negara Asing (WNA) yang diduga lokasi pengambilan video tersebut merupakan areal suci yakni, Gunung Batur—setelah diidentifikasi oleh pihak kepolisian dinyatakan bahwa gambar di video dengan lokasi dipastikan identik.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa gunung merupakan salah satu tempat yang disucikan bagi umat Hindu di Bali, tak terkecuali Gunung Batur. Jika merujuk teks Raja Purana Ulun Danu Batur, Kawasan Kaldera Batur Purba dengan Danau Baturnya disebut dengan Bebengan (Kaldeda) Duwen Ida Bhatari Danuh, atau istilah lainnya adalah Taman Duwen Ida Bhatari Danuh.  Ida Bhatari Dewi Danuh sendiri merupakan entitas tertinggi yang memilih Gunung Tampurhyang—sekarang Gunung Batur sebagai stananya. Hal tersebut juga tak lepas dari perjalanan suci Mangku Pucangan yang tersurat dalam Purana Tattwa Batur (bagian dari Raja Purana Batur) yang menyebutkan bahwa Mangku Pucangan pada saat itu ngogong (menggotong di atas kepala) Ida Bhatari Dewi Danuh untuk menemukan tempat sebagai lingga-Nya yang akan menjadi junjungan masyarakat Bali.

Cerita ini dituliskan kembali oleh Jro Mangku Ketut Riana sebagai berikut. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas (Danau Batur purba) dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau, Beliau berkata, "sudahlah Mangku Pucangan, tempatkan Aku di sini.”

Begitu beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tampurhyang, yang artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari.

 

Menuju Keseimbangan Alam dan Pariwisata

Kembali kepada kasus video porno tersebut, tentu apa yang dilakukan oleh kedua orang WNA tersebut mencoreng kesucian areal Gunung Batur, apalagi kejadian itu dekat dengan Pura Pasar Agung yang tak hanya disucikan oleh masyarakat adat Batur, tetapi juga disucikan oleh seluruh masyarakat Bali. Oleh karenanya masyarakat adat Batur harus melakukan proses upacara penyucian kembali di areal Gunung Batur tersebut—upacara Rsigana menjadi salah satu pilihan. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bali, saya pun menaruh perhatian lebih kepada kasus ini.

Sejujurnya, kejadian ini menunjukkan bahwa kita sebagai masyarakat Bali teramat lemah untuk belajar dari pengalaman, karena sejatinya kasus ini tak berbeda dari kasus-kasus sebelumnya seperti, WNA yang menaiki salah satu palinggih di areal Pura Besakih, WNA yang berfoto di atas palinggih di Pura Batukau, dan WNA yang membasuh alat kelaminnya dengan air suci di daerah Ubud.

Kasus yang tidak kita harapkan bersama ini sesungguhnya terjadi karena lemahnya pengawasan kita terhadap orang-orang yang memasuki areal suci umat Hindu—Gunung Batur menjadi salah satu contohnya. Peran Desa Adat sangatlah vital dalam memberikan edukasi dan pencerahan tentang pentingnya Gunung Batur tak hanya bagi masyarakat Batur tetapi juga masyarakat Bali pada umumnya kepada kelompok yang memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan pendakian di Gunung Batur. Karena seperti yang saya katakan sebelumnya, hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan. Oleh karena itu, ke depannya pembenahan sistem dan penegasan terkait teknis pendakian di Gunung Batur harus diterapkan dengan ketat.

Saya sarankan pula agar setiap WNA yang melakukan pendakian harus ditemani oleh pemandu yang memahami segala hal tentang Gunung Batur—ini penting untuk memberikan pemahaman kepada WNA bahwa menjaga kesucian Gunung Batur sangatlah penting untuk kelangsungan mahluk hidup di dunia. Jika kita bersedia untuk berbenah dan berkomitmen menjaga kesucian setiap areal suci yang ada di Bali, saya percaya tidak ada lagi kasus serupa terjadi di Bali.

_________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email kotakbalinesia@gmail.com. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi