Jumat, 13 November 2020 02:09 WIB
Penulis:Bambang Susilo
DENPASAR – Pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali pada triwulan III 2020 yang minus 12,28 persen menjadi pelajaran penting ke depan. Kemerosotan ekonomi ini tidak bisa dipisahkan karena Bali terlalu fokus pada pariwisata yang rapuh dan mengesampingkan sektor lainnya.
“Kondisi ini konsekuensi bagi kita terlalu berorientasi pada sektor pariwisata. Saat pandemi Covid-19 menyebar dan menghalangi mobilitas orang, provinsi lain bisa bertahan dari tambang, pertanian, dan sektor lainnya. Penduduk provinsi lain besar, sehingga perdagangan masih jalan, sedangkan Bali nyaris tak bisa seperti itu,” kata akademisi Universitas Warmadewa, Dr. Putu Ngurah Suyatna Yasa, S.E., M.Si., Kamis (12/11/2020).
Menurutnya, dalam kondisi seperti ini nyaris tak banyak yang bisa dilakukan oleh Bali untuk menggerakkan ekonomi selain menstimulus perdagangan antarwarga dan antarkabupaten. Perdagangan dalam skala kecil itu pun hanya terbatas pada sektor yang sempit, sebatas hanya pada sektor pangan.
“Itu pun masih sedikit dan sempit. Padahal untuk pangan kita punya potensi lebih besar, misalnya dalam kondisi Covid-19, kemarin menurut data Dinas Pertanian Bali, kita masih bisa ekspor senilai Rp2,6 miliar. Artinya pertanian masih berluang, tergantung sekarang mengelola saja,” jelasnya.
Selain pelajaran untuk memperkokoh sektor pertanian Bali, pandemi Covid-19 juga mengajarkan pemerintah untuk memperkokoh usaha mikro, kecil, dan menenagah (UMKM) Bali. Menurut penelitiannya, UMKM Bali sebenarnya sangat besar dan cukup kuat menggerakkan ekonomi masyarakat. Hanya saja, mereka dihadang oleh perizinan.
“Pada UMKM, pemerintah yang bekerja lebih banyak. Menurut penelitian saya, 55 persen UMKM di Bali tidak berizin lantaran proses perizinan yang masih rumit. Jika sudah tak berizin, mereka kesulitan untuk meminjam dana sebagai modal usaha,” kata Suyatna.
Ia menambahkan, pemulihan ekonomi Bali dalam jangka waktu pendek dinilai memang akan lebih banyak bergantung pada bantuan-bantuan sosial dari pemerintah. Bantuan-bantuan itu diharap akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat.
“Program pemerintah berupa bantuan sosial, bantuan ke UMKM, membantu orang-orang yang menganggur, bantuan pada sektor perhotelan, pinjaman kepada daerah kabupaten, pinjaman tanpa bunga saat ini memang banyak mengambil peran untuk meningkatkan konsumsi masyarakat,” pungkasnya.