Lingkungan
Rabu, 02 Oktober 2024 12:56 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi
JAKARTA – Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Indonesia sangat menyukai mie instan. Bahkan, tidak hanya orang Indonesia, masyarakat di berbagai negara juga menyukai jenis makanan satu ini. Selain harganya yang terjangkau, mi instan juga memiliki rasa yang cocok untuk berbagai kalangan masyarakat.
Mi instan pertama kali dibuat di Jepang pada tahun 1958. Mi instan pertama di dunia ini dibuat oleh Momofuku Ando, seorang penemu dan pengusaha Taiwan-Jepang yang mendirikan Nissin Food Products Co. Ltd. Sejak penemuannya, mi instan telah menjadi makanan praktis yang sangat disukai oleh jutaan konsumen di seluruh dunia.
Berdasarkan data dari Instantnoodles, konsumsi mie instan di Indonesia mengalami naik 4,98% menjadi 13,27 miliar bungkus pada tahun 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbesar kedua di dunia, setelah China, yang mencatat konsumsi sebanyak 43,99 miliar bungkus tahun lalu.
Di sisi lain, survei Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021 menunjukkan, penduduk Indonesia mengkonsumsi rata-rata 48 bungkus mi instan per tahun, sehingga total konsumsi seluruh Indonesia mencapai 13,2 miliar bungkus, dengan rata-rata berat per bungkus sebesar 80 gram.
Namun, tidak hanya konsumsi yang tinggi, Indonesia juga dikenal sebagai raja mi instan di dunia. Mi instan Indonesia telah diekspor dengan tren yang meningkat, termasuk ke pasar non-tradisional. BPS mencatat, volume ekspor mi instan Indonesia pada tahun 2020 mencapai US$271,337 juta, sedangkan pada tahun 2021 turun menjadi US$227,093 juta.
Ekspor mi instan Indonesia pada tahun 2020 sebagian besar ditujukan ke Malaysia (31,40%), diikuti oleh Australia (9,84%), Singapura (4,70%), Amerika Serikat (4,51%), dan Timor Leste (4,25%).
Jutaan produk dari berbagai merek terjual dengan baik setiap harinya. Kesuksesan ini memungkinkan perusahaan mi instan menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat besar. Tak ayal, para dalang di balik bisnis mi ini bahkan mencatatkan kekayaan yang luar biasa.
Bahakan, mereka juga dikenal sebagai konglomerat terkaya di Indonesia, yang memperoleh kekayaan dari industri instant noodle. Kira-kira siapa saja konglomerat Indonesia yang berhasil membangun bisnis mi instan? Yuk, simak artikel berikut!
Dilansir dari Forbes, berikut konglomerat Indonesia yang sukses berkat mi instan:
Anthoni Salim memimpin Salim Group, dengan investasi di bidang makanan, ritel, perbankan, telekomunikasi, dan energi. Ia juga menjabat sebagai CEO Indofood—salah satu produsen mi instan terbesar di dunia, dengan pendapatan US$6,4 miliar atau sekitar Rp96,8 triliun.
Indofood telah memproduksi berbagai jenis produk makanan seperti Promina, Chitato, dan masih banyak lagi. Perusahaan ini juga merupakan produsen dari Indomie, Pop Mie, Sarimi, Mie Sakura, serta Supermi.
Keluarga Salim memiliki saham di perusahaan investasi First Pacific yang tercatat di bursa saham Hong Kong, yang memiliki kepentingan di Indofood dan perusahaan telekomunikasi PLDT di Filipina.
Anthoni Salim adalah anak bungsu dari tiga putra mendiang Liem Sioe Liong, seorang taipan yang selama puluhan tahun sangat dekat dengan presiden Suharto.
Antoni Salim tengah gencar berinvestasi di sektor pertambangan, memimpin konsorsium yang membeli saham Bumi Resources senilai US$1,6 miliar pada 2022. Ia juga memiliki saham di Medco Energi dan Amman Mineral.
Saat ini, Anthoni Salim menempati peringkat kelima sebagai orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan sebesar US$10,3 miliar, atau sekitar Rp156,2 triliun.
Dia menjabat sebagai Presiden Direktur di perusahaan barang konsumsi PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), serta anak perusahaannya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP), yang terkenal sebagai produsen Indomie.
Jogi Hendra Atmadja adalah pimpinan grup Mayora, salah satu perusahaan makanan terbesar di Indonesia. Grup Mayora menjual produk-produk seperti, Kopiko, Danisa, dan Roma, di lebih dari 100 negara, termasuk produk mi instan seperti Mie Oven, Migelas, dan Bakmi Mewah.
Mayora didirikan pada tahun 1977 dengan pabrik pertamanya berlokasi di Tangerang. Setelah berhasil memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, perusahaan ini melaksanakan Penawaran Umum Perdana dan resmi menjadi perusahaan publik pada tahun 1990.
Saat ini, kekayaannya mencapai US$4,4 miliar atau sekitar Rp66,7 triliun, menjadikannya berada di peringkat ke-11 dalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Husain bersama kedua saudaranya mengelola bisnis Orang Tua Group yang terkenal dengan produk makanan dan minuman. Selain itu, mereka juga menjalankan ABC Group yang memproduksi berbagai produk, termasuk mi instan dengan merek Mie ABC dan Gurimi.
Bisnis Orang Tua dimulai oleh ayah Husain, Chu Sam Yak atau Chandra Djojonegoro, bersama saudaranya Chu Sok Sam. Mereka mendirikan usaha minuman anggur herbal dengan merek cap Orang Tua melalui NV Handel Maatschappij May Lian & Co di Semarang.
Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Perindustrian Bapak Djenggot dan akhirnya menjadi Orang Tua Group. Usaha minuman anggur cap Orang Tua berkembang pesat dan memiliki dua pabrik di Semarang dan Jakarta.
Chandra menunjuk Husain sebagai direktur di PT International Chemical Industrial Co. Ltd yang didirikan pada tahun 1959. Perusahaan ini bergerak di bidang produksi batu baterai dengan merek ABC. Pada tahun 1974, usaha mereka diperluas ke sektor makanan dengan mendirikan CV Central Foods Industrial Corporation, yang kemudian memproduksi kecap dengan merek ABC dalam berbagai varian rasa.
Selain itu, OT sempat memproduksi beberapa merek mi instan di awal 2000-an, seperti Mie Selera Rakyat, Kare Mie, dan Happy Mie, meskipun ketiga produk tersebut kini tidak lagi diproduksi.
Saat ini, Husain memiliki kekayaan sebesar US$1,15 miliar atau sekitar Rp17,4 triliun, menempatkannya di posisi ke-42 orang terkaya di Indonesia.
Eddy Katuari mengambil alih perusahaan pembuat peralatan rumah tangga Wings pada tahun 2004, setelah kematian ayahnya yang merupakan salah satu pendiri grup tersebut. Ayahnya mendirikan bisnis tersebut bersama Harjo Sutanto pada tahun 1948 sebagai pembuat sabun cuci yang terjangkau.
Saat ini Wings merupakan salah satu produsen sabun dan perlengkapan rumah tangga terbesar di Indonesia, seperti pembersih toilet, deterjen, dan pembalut wanita. Salah satu produk unggulan mereka yaitu mi instan dengan merek Mie Sedaap telah dijual di banyak negara. Selain Mie Sedaap juga memproduksi Mie Suksess, Mie Eko hingga So Yumie.
Di bawah kepemimpinan Eddy, Wings Group memperluas jangkauannya ke produk rumah tangga, perawatan pribadi, dan produksi makanan. Pada tahun 2000-an, Wings Group juga memasuki sektor properti, perkebunan, oleo chemical, dan keramik.
Dalam industri oleo chemical, Wings Surya menjalin kemitraan dengan Grup Salim dan Grup Lautan Luas melalui PT Ecogreen. Sementara, dalam bisnis kemasan, Wings bekerja sama dengan PT Kinocare Era Kosmetindo.
Eddy sendiri memiliki kekayaan sebesar US$1,03 miliar atau sekitar Rp15,6 triliun, menjadikannya berada di peringkat ke-46 dalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Djajadi Djaja adalah penggerak awal bisnis Indomie, mi instan yang sangat populer di Indonesia. Sejak tahun 1959, ia memulai usaha bersama teman-teman SMA dengan mendirikan firma bernama FA Djangkar Djati, yang kemudian berganti nama menjadi Wicaksana Overseas International.
Pada April 1970, Djajadi dan rekan-rekannya mendirikan Sanmaru Food Manufacturing, yang mulai memproduksi mi instan bernama Indomie, singkatan dari Indonesia Mie, sejak tahun 1972. Pabrik tersebut didirikan oleh Djajadi Djaja bersama Chow Ming Hua, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma. Kelompok usaha yang berasal dari Medan (Sumut) ini dikenal sebagai Jangkar Jati Group.
Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, yang sudah terlibat dalam bisnis tepung terigu, juga memasuki industri mie instan dengan merek Sarimie dan Supermie melalui PT Lima Satu Sankyu dan PT Sarimi Asli Jaya sejak tahun 1968. Namun, Liem kemudian berkolaborasi dengan Djajadi untuk memproduksi Indomie dengan mendirikan PT Indofood Eterna pada tahun 1984.
Setelah Indomie dan Sarimie bersatu, Supermie juga ikut bergabung. Berkat dukungan Liem, produk-produk mi instan ini menjadi sangat terkenal di pasar Indonesia. Pada tahun 1993, Djajadi mengalami masalah keuangan, yang menyebabkan Grup Salim memutuskan hubungan dan mengeluarkannya dari Indofood.
Setelah itu, Djajadi melanjutkan usaha mi instan di bawah PT Jakarana Tama. Perusahaan ini dikenal dengan produk-produk seperti Mie Gaga, Mie 100, 1000, Mie Gepeng, Mie Telor A1, Otak-otak, dan Sosis Loncat.
Itu dia konglomerat Indonesia terkaya berkat mie instan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 29 Sep 2024
sehari yang lalu